Secret : Uji Nyali
"Kenapa juga aku harus sesial ini? Aku hanya ingin kehidupanku di kampus tenang!"
Oke, bayangkan saja, saat ini aku sedang berteriak keras-keras sambil menarik rambutku frustasi. Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi untuk melepaskan semua beban ini. Seharian aku sudah dibuat tegang dengan rapat dewan dadakan yang harus dilalui oleh Kazune, sekarang aku harus menerima kenyataan bahwa sebentar lagi aku akan dijadikan target pem -bully-an—ah, pada dasarnya aku sudah di -bully sejak awal sih.
Kazune menyilangkan tangannya di depan dada dengan kepala sedikit tertunduk, tanda dia sedang berpikir dengan serius. Aku beruntung karena dia tidak mempermasalahkanku yang baru saja berteriak keras di malam hari.
Aku terus menatap Kazune yang masih pada posisi awalnya. Namun, lama-lama aku jadi panik kembali karena dia tidak segera berbicara. Kalian tahu, Kazune sudah sering menghadapi masalah di kampus. Karenanya, dia selalu bisa mengambil keputusan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan cepat.
Jadi, bisa bayangkan kenapa dia harus berpikir selama itu? Ini masalah rumit, aku tahu itu! Bahkan terlalu rumit untuk Kazune.
"Kazune~" sambil berjalan dengan ling-lung, aku mendekati Kazune dengan wajah putus asa. Ketika berada di dekatnya, ku taruh tanganku di bahu Kazune untuk menopang tubuhku yang mulai merosot.
Akhirnya Kazune mendongkak, membuat diriku mau tidak mau merasa masih mempunyai harapan.
Benar saja, Kazune langsung menatap mataku lurus, "Karin," ucapnya dengan tenang, "aku masih belum menemukan solusi yang bagus. Tapi, aku akan segera memikirkannya."
Seketika itu juga aku merosot dan terkapar di lantai. Aku pun mulai merengek.
"Bagaimana jika aku tidak masuk saja waktu acara itu? Aku akan izin sakit, aku akan meminta surat dokter agar aku diizinkan untuk tidak mengikuti acara itu," ucapku disela-sela rengekanku.
Bukannya merasa kasihan, Kazune malah menatapku dengan pandangan bosan—dan tidak berperasaan, "Tenangkan dirimu dulu, Karin. Aku bilang aku akan mencarikan solusinya, kan?"
"Aku sudah tidak kuat lagi, Kazune," ucapku mulai memeluk kaki Kazune.
"Tidak-tidak, kau akan baik-baik saja. Kau masih memiliki harapan. Himeka dan Michi berada di pihakmu. Kau harus berani untuk menghadapi Rika," suara Kazune yang awalnya berkobar penuh semangat, lama kelamaan melembut. Dia bergerak untuk jongkok di sampingku. Kazune pun tersenyum dengan lembut sambil mengelus rambutku.
Ketika melihat tatapan mata Kazune yang begitu lembut menatapku, entah kenapa aku merasa tenang. Rasa gelisahku menghilang begitu saja, digantikan rasa nyaman dan keyakinan bahwa aku akan baik-baik saja.
"Kau akan melindungiku, kan?" tanyaku terucap begitu saja dari mulutku.
Kazune terlihat sedikit terkejut. Namun, dia mengembalikan senyum lembutnya dan mengangguk pelan, "Aku sudah berjanji akan melindungimu, kan? Ku pikir aku tidak perlu mengucapkannya berulang kali."
Rasanya, perutku seperti ada yang menggelitik. Membuatku tertawa kecil karena geli. Akhirnya ku tegakkan badanku lagi, menyejajarkan diriku di depan Kazune. Setelahnya, segera ku peluk orang yang sedang berada di hadapanku tersebut.
Aku pun berbisik, "Terima kasih."
Mungkin aku terlalu naif dan terbawa suasana. Tanpa aku sadari, mungkin Kazune sudah tersenyum penuh kemenangan sejak aku memeluknya tadi. Karena hal selanjutnya yang terjadi adalah dia menggendongku dan berjalan menuju kasur.
"Baiklah, sudah malam. Waktunya istirahat. Otakku sudah pada batasnya untuk membuat sebuah solusi dari permasalahan yang datang bertubi-tubi ini," ucapnya santai dan menaruhku di atas kasur, dia mendekatkan wajahnya dengan jari telunjuk menempel di hidungku, "besok, kau yang masak untuk sarapan! Jadi, besok kau yang harus bangun pagi!"