Semuanya masih berjalan mulus seperti biasanya, sejauh ini masih belum ada hambatan apapun. Kuliahku lancar, pekerjaanku pun juga lancar.
Setengah semester tinggal sendiri di kontrakan sudah cukup membuatku kesepian, sepertinya aku membutuhkan seorang teman untuk tinggal bersama. Kalau aku mengajak Lala itu hal yang sangat tidak mungkin, mengingat statusku yang belumlah menjadi suami sah.
Pagi itu ketika aku sudah tiba di kampus, seperti biasa aku banyak bertemu dengan teman-temanku. Aku bergaul tidaklah susah, fleksibel kemanapun. Hubunganku dengan para temanku lancar-lancar saja. Belakangan ini aku sedang dekat dengan teman satu kelompok praktek.
Namanya Ucup, setahuku dia berasal dari kampung. Karena logat khas yang ia pakai ketika berkomunikasi, seringkali membuatku dan teman-teman yang lain tertawa saat mendengarnya. Kebetulan kemarin pada saat mata kuliah Bu Nina, kami di tempatkan dalam satu kelompok yang sama.
Banyak sudah aku berbincang dengannya, dia bukan orang yang tertutup. Dia banyak cerita perihal kampungnya kepadaku, tentang pekerjaan orang tuanya yang seorang petani. Dan juga dia masuk universitas ini adalah karena beasiswa, jadi bisa di pastikan dia adalah anak yang pintar.
Pagi ini ketika aku tiba di kelas, tampaknya aku melihat wajah Ucup terlihat murung. Aku mendekatinya.
"Gimana kabar cup, baik kan?" Sapaku sambil menepuk pundaknya dan duduk di sampingnya.
"Baik mad, cuman banyak pikiran aja." Jawabnya.
"Mikirin apa cup, tugas? Tenang aja, tugas yang kemaren kamu kasih aku udah kelar kok."
"Bukan mad." Dia seperti tidak mau menceritakan perihal apa yang mengharuskannya untuk bersikap murung.
"Cup, cerita aja ke gua. Kali aja gua bisa bantu, kita kan temen." Kataku ingin membantunya memecahkan masalah yang sepertinya sedang ia hadapi seorang diri.
"Aduh mad, ngga enak aku." Dia mengelak.
"Udahlah cup, tenang aja. Kenapa sih?" Aku semakin ingin tahu saja dengan masalah Ucup.
"Sawah bapakku kemarin gagal panen, terus kemarin kontrakan juga udah nagih setoran bulanan. Uang beasiswa habis buat aku kirim ke adikku yang masih mondok, aku udah ngga tau lagi mau tinggal dimana mad." Ujarnya menjelaskan, tapi tidak dengan air mata yangmenetes sedikitpun.
Untuk apa dia menetaskan air mata di hadapanku. Kami sama-sama lelaki. Lagian, lelaki itu kan pantang untuk menangis. Seberat apapun beban yang ada di hadapan kami, kami akan selalu mencari jalan keluarnya. Menangis bukanlah solusi bagi kaum Adam.
Aku iba terhadap apa yang terjadi pada Ucup. Aku mencoba membantunya untuk mencarikan solusi, karena bagaimanapun, dia adalah sahabatku saat ini.
Aku teringat, kalau aku sedang membutuhkan seorang teman untuk menemaniku di rumah. Apakah Ucup mau menerima tawaranku, pikirku.
"Cup, kayaknya gua bisa bantu elu." Ujarku menawarkan bantuan pada Ucup.
"Ngga usah repot mad, aku nanti bisa nyari solusi kok."
"Engga, gua cuman mau nawarin. Jadi, gua kan tinggal sendirian di kontrakan, nah gimana kalo lu memenin gua?"
"Beneran mad, tapi nanti biayanya gimana?"
"Biayanya lu bantu gua bayar listrik aja, sisanya gua." Kataku menjelaskan "gimana?" Tanyaku memastikan keyakinan Ucup.
"Yaudah, nanti aku pikirin deh." Jawabnya.
Hari itu berlalu begitu cepat, dan sudah waktunya untuk pulang kuliah. Sebelum aku beranjak dari kelasku, aku mengingatkan Ucup perihal tawaranku yang tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Merelakan
Romance[NOVELET PERTAMA SILAHKAN DI BACA] Kamu pernah jatuh cinta ? Apa yang bisa kau lakukan ketika cinta itu pergi tanpa bisa kau cegah? "Mungkin hanyalah merelakan cara terbaik untuk membuatnya bahagia." -Ismail Rahmad . Aku hanya ingin sedikit berbagi...