Bagian XVI

150 3 0
                                    

Aku fikir dengan semua penjelasan yang telah kudapatkan dari Lala sudahlah lebih dari cukup untukku bersiap. Aku sudah menyiapkan sebuah cincin indah yang nantinya akan ku jadikan sebagai mahar, jangan sampai aku menunda waktu untuk seseorang yang ingin kumiliki.

Aku memang belum mengatakan perihal apapun kepada kedua orangtuaku, tentang rencanaku untuk meminang Lala. Mungkin malam ini adalah waktu yang tepat pikirku. Langsung saja ku datangi ayahku yang sedang membaca di ruang tamu di temani ibu yang sedang memilah beberapa helai pakaian untuk esok di jual.

"Pak, aku mau bicara." Tukasku sembari duduk di atas kursi yang ada  dihadapan bapakku karena ibuku melakukan pekerjaannya di atas lantai.

"Ada apa nak? Sepertinya kau sedang bimbang?" Jawab bapakku dengan kembali menanyakan perihal keadaanku.

"Jadi begini, bapak, ibu. Aku pikir aku sudah dewasa, jadi sudah waktunya bagiku untuk merajut hubungan rumah tangga." Ucapku dengan perlahan agar bapak dan ibuku lebih bisa memahami apa yang nantinya ingin kami bincangkan.

"Wah, kenapa tiba-tiba sekali kau ingin menikah? Bukannya dulu kamu bilang akan menikah setelah kuliah? Sedangkan sekarang kan kamu belum lulus nak?" Raut muka bapakku sudah terlihat mulai serius sekarang, ia mungkin sudah menyiapkan bahasan berat yang nantinya akan kami bincangkan. Ibu yang tadinya masih sibuk dengan pekerjaannya ikut angkat bicara "Iya nak, bukannya kamu yang dulu bilang kalau kau ingin berkelana untuk beberapa waktu sebelum nantinya akan menikah?" Timpal ibu.

"Seiring berjalannya waktu, aku ternyata merubah semua rencanaku itu pak, Bu. Kemaren ketika aku mengikuti banyak kajian, banyak ustadz yang menyampaikan bahwa menikah bukanlah penghalang bagi kita untuk menikah. Toh juga, bukankah bila bepergian dengan yang sudah halal itu lebih berkah?" Aku mulai mengutarakan maksudku masih dengan nada perlahan sambil seolah mengajak diskusi.

"Iya nak, bapak tahu. Tapi pernikahan itu bukanlah semudah rumus matematika yang satu di tambah satu menjadi dua. Ini urusan hati dan masa depan." Jawab bapak berusaha mementahkan arugumentasiku, dan diteruskan oleh ibuku "iya nak, perlu persiapan yang tidak sebentar. Dan apakah kamu sudah siap dengan segala resiko yang akan kamu hadapi nantinya?"

"Iya pak, aku sudah banyak belajar tentang kehidupan setelah pernikahan, tapi dengan niat ingin mencari berkah, insya Allah semua itu akan di permudah oleh Allah. Dan Bu, aku sudah siap dengan semua resiko yang akan kuhadapi nantinya." Aku mulai memberanikan diri untuk memberikan pengertian tentang pernikahan yang ingin aku lakukan nanti.

"Pak, Bu. Menikah itu adalah ibadah, ia juga adalah separuh iman. Bahkan ada seorang ulama yang ia sangat takut bila ia tidak menikah dalam hidupnya karena fitnah syahwat itu memanglah sangat berat. Apalagi bagiku yang seorang mahasiswa di sebuah universitas yang berada di kota besar. Aku pikir dengan segala pekerjaan dan tabungan yang telah kumiliki sudahlah cukup untuk membangun sebuah rumah tangga, untuk urusan skripsi insyaallah akan berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi. Tapi aku tetap akan berusaha untuk wisuda tahun ini." Jelasku panjang lebar.

"Baiklah nak, kalau itu memang sudah keputusanmu. Kami hanya bisa mendukung saja." Ujar ayah dengan bijaknya, inilah yang dari dulu sangat kusukai dari sikap ayah. Ia adalah seorang lelaki yang bijak dan mampu memahami situasi keluarga ia selalu mengajak diskusi terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu perkara.

"Tapi, apakah kau sudah memiliki calon yang nantinya akan kau pinang?" Tanya ibu kepadaku.

"Alhamdulillah sudah Bu, mungkin 2 hari lagi aku akan datang kehadapan ayahnya untuk meminang anaknya. Doakan saja Bu, semoga aku bisa memiliki seorang wanita yang telah aku cintai selama ini." Jawabku untuk memberikan pengertian bahwa aku sudahlah memiliki calon.

"Ibu selalu berdoa yang terbaik untukmu nak, semoga saja urusanmu di permudah oleh Allah." Kata ibu di tambah dengan mendoakan kemudahan bagiku "Kalau anak ibu bahagia, insya Allah kami sekeluarga juga bahagia, iya pak?" Tanya ibu pada bapakku dan spontan di jawab oleh ayahku. "Iya benar sekali, kami selalu berharap yang terbaik untuk semua anak-anak kami. Tapi ingat nak! Resiko ditanggung pemenang ya."

"Iya Bu, pak. Terimakasih sudah mau mengabulkan permintaan ku ini. Doakan saja yang terbaik." Tutup ku sambil tersenyum kepada mereka berdua.

Setelah itu, aku kembali beranjak menuju kamarku. Baru saja aku tiba di kamar, aku lihat ponselku ternyata sedang berkedip pertanda ada sebuah notifikasi yang muncul. Aku raih lalu aku dapati, ternyata itu adalah telpon WA dari sahabatku, Ucup.

"Ada apa cup? Malam-malam begini lu nelpon?" Tanyaku di saat baru saja mengangkat telpon.

"Besok aku akan datang ke kotamu, kebetulan sekali aku bersama dengan ayahku dan rombongan keluarga kami."

"Wah kebetulan sekali, barangkali sempat tolong singgah ke rumahku besok ya." Kataku dengan nada senang karena aku dengar, ia akan ada kepentingan pribadi yang akan di lakukan di kotaku.

"Insyaallah kalau sempat, tapi aku tidak janji, karena rombongannya banyak."

"Yasudah, kalau mau kesini kabar-kabar saja ya." Ujarku sebelum menutup telpon.

Apakah aku harus bercerita perihal hari esok rencanaku untuk melamar Lala pada Ucup, barangkali ia bisa memberikan beberapa masukan. Tapi, aku urungkan lagi niat tersebut, aku ingin ini menjadi kejutan.

Setelah telpon sudah di tutup, aku merebahkan diriku di atas kasur yang berada di kamarku. Aku pandangi kamarku yang terkesan luas ini, kasur  luas yang sedang aku tiduri ini, mungkin besok sudah akan ada pengguna barunya lagi. Aku sangat ingin segera untuk menjemput hari esok, aku sudah tidak sabar lagi untuk segera meminang Lala. Sebelum ku pejamkan mataku, aku berdoa agar Allah memberikan yang terbaik untukku. Aku yakin sekali, bila memang Lala itu jodohku, apapun keadaannya esok, aku percaya akan bisa bersatu.

Malam semakin larut dan mataku pun sudah mulai terkantuk. Aku buyarkan terlebih dahulu semua lamunan yang baru saja aku susun, aku akan menggantikan impian itu menjadi nyata. Bukan lagi waktuku saat ini untuk hanya sekedar bermimpi, ini adalah saatnya bagiku mengistirahatkan pikiranku agar esok bisa lebih fresh lagi.

Dengan pikiran yang fresh, hati pun juga akan bisa lebih tenang dalam memutuskan segala tindakan. Aku tak mau lagi hanya berdiam diri saat ini, waktunya bagiku untuk berusaha menjemputnya.

Maka, Bila ia adalah jodohku jodohkanlah, namun bila ia bukan jodohku, aku harap semoga saja jodohnya bisa lebih baik daripada aku.

Bahagia itu adalah tujuan akhir dengan banyak rintangan yang mengiasi di setiap jalannya. Aku siap dengan segala rintangan itu, demi DIA.

(BERSAMBUNG)
Jangan lupa untuk follow IG:
@pujanggabercerita
Terimakasih

Tentang MerelakanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang