•Special Part ( 2 )

41.5K 3.5K 545
                                    

[ SPECIAL PART ]

STEVE tersenyum bangga saat karya yang ia buat dengan penuh keringat dan perjuangan itu nampak memuaskan matanya.

Karya yang terpasang di tembok pagar rumah milik seseorang, entah siapa. Yang pasti bukan seseorang yang dirinya kenal.

Dimasukkannya kedua tangannya ke dalam saku celana, kemudian ia terlihat mengalihkan pandangannya ke arah kanan dan kirinya, menatap ke-enam sahabatnya yang masih terlihat fokus dengan coretan-coretan yang berasal dari piloks berbeda warna itu.

Memundurkan tubuhnya untuk melihat hasil karyanya dari jarak yang cukup jauh.

"Nyet?" Suaranya terdengar, ikut terbawa bersama angin yang berhembus.

Mengalihkan pandangan beberapa orang, hanya sekilas sebelum mereka kembali mencoret-coret tembok pagar orang asing itu.

"Menurut kalian, apa yang bakal buat persahabatan kita bubar?"

Richard kembali menatap Steve dengan kening berkerut, "Kenapa lo nanya gitu?"

Cengiran dari bibir Steve terlihat, "Karna gue rasa, persahabatan kita terlalu goals untuk bisa bubar gitu aja tanpa sebab yang gak penting."

Al mengangguk setuju setelah cowok berambut keriting itu selesai dengan karyanya, "Kalo gitu, sebabnya pasti bakal heboh."

"Kayak?" Sambar Steve bersemangat.

"Cewek?" Al kembali menjawab, yang segera mendapat lemparan piloks dari Arkan.

"Menurut lo itu bakal kejadian?" Tanya Arkan dengan mendengus geli, "Gila kali."

Steve kembali tersenyum, lalu mengalihkan kepalanya, menatap langit malam menjelang pagi itu, "Kematian?"

Gantian Al yang mendengus, "Serem mainan lo serem."

"Tapi gue gak mau mati dulu sebelum dateng ke nikahan lo pada." Suara Derren terdengar untuk pertama kalinya, walau pandangannya masih terpaku pada coretannya.

"Gue juga," sambar Steve sembari mengeluarkan hembusan napasnya, "Mau bareng terus selamanya malah, walau lo semua kadang kayak anjing."

"Tapi," dari arah pinggir, suara Arga terdengar, "kita bakal mati sekarang kalo gak kabur." Lanjut cowok itu dengan tatapan yang terpaku pada suatu objek.

Mobil polisi yang tengah berjalan mendekat ke arah mereka dengan suara sirine yang menemaninya.

Membuat perhatian sobat-sobatnya beralih kilat.

"Lah, bangsat." Raynzal dengan geramnya mengumpat, segera mengambil jaket miliknya yang tergeletak di atas aspal.

Sama dengan Arkan yang juga sudah sibuk dengan perlengkapan 'bermainnya', kembali memasukkan piloks-piloks miliknya ke dalam tas.

"Kena aja, emang ada CCTV, ya?" Richard bertanya, mencari ke sekelilingnya, sebelum maniknya berakhir tepat di samping pagar rumah mewah ini, "Bego, kenapa kita gak ada yang nyadar?"

Arga mengacak rambut birunya frustasi, lalu melemparkan piloks berwarna merahnya asal, "Cabut."

Hanya aba-aba itu yang diperintahkan Arga, membuat langkah pasti terdengar dari para pengikutnya. Berlari sekencang mungkin untuk menghindari kejaran petugas.

Tertawa lepas atas muka panik Al yang saat ini sedang berlari paling kencang di antara mereka. Cowok itu memang sangat trauma dengan kantor polisi, membuatnya sangat amat tak ingin kembali tertangkap dan masuk ke dalam penjara walau hanya untuk semalam.

Shanin's Diary (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang