Kode Dari-Nya

938 98 1
                                    

Kode Dari-Nya

By Addina (IG: @addinahdyt)


Sudah berjam-jam hujan masih betah membungkus kota Yogyakarta kala itu. Ramai mengetuk atap, menyisakan sunyi. Belum habis kuselesaikan satu buku di hadapanku, perasaanku sudah mulai berasumsi macam-macam. Jika ada kata yang pantas untuk mewakilinya, barangkali 'hidayah' jawabnya.

Entah bagaimana rasa mulai bekerja, hati bolak-balik menyimpul tanya. Aku yang siangnya masih jadi manusia yang begitu bangga menikmati istimewanya Yogyakarta berdua. Berdua dengannya, sebut saja Mawar. Berjalan di bawah langit dengan hamparan hijau sejauh mata menjatuhkan tatap, atau menikmati senja di bawah gerimis menyusuri jalanan kota. Lalu adakah yang lebih menyenangkan dari dua manusia yang saling jatuh cinta? Yang mengukir aksara di bawah langit Yogyakarta? Tidak ada, kataku. Segala rasa masih sama sampai entah didetik keberapa, hatiku justru bergejolak sebaliknya. Diantara rinai hujan yang membasuh bumi, pintu langit terbuka untuk membisikkan rindu-Nya padaku. Air di pelupuk mata tak mampu lagi kubendung, bergulir, menggelinding perlahan.

Ada rasa yang diam-diam menelisik, menanyakan segala rasa yang meminta jawaban secepatnya. Kurasa, rasaku untuk mawar tiba-tiba luruh bersama hujan yang terus saja menghujam bumi. Memintaku melepaskan segala rasa untuknya tanpa bagaimana.

Sesederhana itu Allah membolak-balikkan hati manusia, memilihnya untuk mendekat kembali pada-Nya. Ini bukan yang pertama ketika hati mendapat kode dari-Nya. Berkali-kali Allah kirimkan kodenya, terusik ingin menjadi lebih baik, hanya saja hati masih ragu entah mengapa.

Aku yang begitu percaya bahwa segala hal di dunia tidak ada yang terjadi begitu saja, sudah digariskan oleh-Nya. Begitupun aku yang pergi berdua dengannya ke Yogyakarta, lalu bermalam di kawan, lalu kunikmati berlembar-lembar buku hijrah "Diary Cinta Sally", sebuah buku yang ditulis @momalula yang baru-baru itu dibeli kawanku. Sungguh bukan sebuah kebetulan jika aku memutuskan begitu saja merengkuh buku dan menikmatinya.

Ada yang lebih mengusikku dari sekadar soal rasaku untuknya. Ialah kawanku yang sudah lebih dulu menjemput hidayah-Nya. Ia yang malam itu sudah terlelap di kasurnya, juga dua kawanku yang menggantungkan masa depannya di ibu kota. Apa yang begitu mengusikku? Jika kelak sahabat karib akan mempertanyakan keberadaan sahabatnya yang tak ditemuinya disyurga, maka aku enggan jadi manusia yang kelak tak pantas untuk diperjuangkan dihadapan-Nya. Cukup untuk jadi alasan mengazamkan niat untuk memulai hijrah.

Sungguh kode-Nya tak berhenti sampai disitu. Tiga tahun ke belakang dimana Abi tiba-tiba sakit, tubuhnya mulai ringkih, dan satu tahun terakhir sungguh tubuhnya tak lagi berdaya. Berbaring diranjang sepanjang harinya, tak ada sepatah kata kecuali aku yang jail mengajaknya bercanda. Kau harus tahu, ini jadi momentum dimana aku memutar segala ingatanku tentang Abi kala ia belum menua dan serapuh ini. Abi Ummi yang mengajarkan segala kebaikan Islam padaku, yang tak luput untuk menyebut namaku dipenghujung malam-Nya, di setiap sudut panjangnya, yang sungguh bahkan sejak sebelum aku terlahir Abi Ummi tentu berharap aku jadi anak sholih yang mampu mendatangkan kebaikan sepeninggalnya. Lalu lihat bagaimana aku ketika itu, jauh dari kata sholih yang dielu-elukan mereka di setiap lirihnya doa. Betapa tak tahu dirinya aku ini, asik dalam hingar bingar dunia yang dipenuhi gelak tawa yang fana. Maka aku mulai berazam, berhijrah, berlomba-lomba mendapatkan cinta-Nya. Kupeluk Abi kala itu, meminta maaf atas segala lalai dalam diri, atas 1/5 abad yang habis untuk main-main, atas kealpaan diri bahwa hidup ialah perjalanan menemui-Nya.

Jadi turning point banget ketika Abi berpulang menghadap-Nya lebih dulu, itu belum genap satu bulan kala aku memeluknya untuk memulai langkah hijrahku. Sungguh begitu besar kuasa Allah atas segala skenario-Nya dan 'hidayah' jadi sesuatu yang kucicipi dengan nikmat yang paling terasa. Mengingat bahwa hidayah sungguh tak akan mampu terbeli oleh apapun dan bahkan Rasulullah manusia terbaik pun tak mampu memberikan hidayah atas pamannya. Tidakkah kau berpikir jika kau jadi hamba pilihan-Nya kala hidayah menyapamu? Lalu pilihannya ada padamu, menjemput atau sekadar menunggu. Maka jemputlah ia dengan penuh keikhlasan mencari ridha-Nya.

Adakah manusia yang tidak diuji setelah ia menyatakan beriman? Maka di sanalah Allah mulai menguji seberapa besar azammu, terkadang berat tetapi justru begitu terasa limpahan nikmat. Ingatlah bahwa sejatinya hidup ini ialah perjalanan menemui-Nya, kalau ingat kematian, bekal kita ini belum apa-apa. Lalu apa yang membuatmu untuk tak bersegera mendekat pada-Nya? Jemputlah hidayah, berhijrahlah, membersamaiku dalam perjalanan ini, maka nanti kita reuni di syurga-Nya. Insya Allah

Teruntuk sahabat fillah yang membersamaiku di jalan ini, @selisada, @selansd, @devirinjani, jazakumullahu khayran katsiran dan untukmu yang tengah meniti jalan hijrah, jangan berhenti sebab pertolongan-Nya sungguh dekat

Hijrah StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang