Indahnya Hijrah Saat Mengajar Di Sekolah

557 46 0
                                    

Indahnya Hijrah Saat Mengajar Di Sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Indahnya Hijrah Saat Mengajar Di Sekolah

By @kholidahana 

Handphoneku berbunyi, ada pesan masuk dari grup WhatsApp. Oh ternyata salah seorang teman  yang berbagi info lowongan kerja. Peluang menjadi guru bahasa Indonesia di salah satu SMP swasta, hmm boleh juga. Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Tunggu dulu, syaratnya Muslimah. Tapi aku belum berhijab, bagaimana ini? Aku mencoba menghubungi temanku dengan mengirim pesan japri, menanyakan syarat yang tertera di info lowongan kerja tersebut benar atau tidak. Dan ternyata benar, sekolah itu membutuhkan guru yang berhijab.

Kupikir sekolah tersebut sekolah swasta umum, bukan sekolah Islam. Tapi aku sudah bilang bersedia untuk melamar menjadi guru di sekolah tersebut. Kata temanku itu, sebaiknya aku menghubungi kontak sekolah itu. Oke, aku siap melamar. Pakai hijab, aku bisa kok.

Dengan memakai kemeja panjang, celana panjang, dan juga hijab segiempat aku bersedia untuk interview dan tes kerja pada hari yang telah ditentukan. Tapi ternyata sekolah itu bukan sekolah Islam pada umumnya yang aku tahu, mereka para guru dan siswi memakai jilbab lebar dengan baju gamis yang longgar. Apakah aku salah kostum? Oh tidak, bagaimana kalau aku tidak masuk kriteria untuk menjadi guru di sekolah ini? Aku pun merasa pesimis, rasanya ingin mundur. Atau aku pulang saja?

Aku diberi kertas biodata yang harus kutulis. Setelah menulis biodata ternyata ada satu lembar kertas lagi, sejumlah soal tentang aqidah yang tak kumengerti. Soal macam apa ini? Pikirku saat itu aku baru pertama kali menemukan soal semacam ini, misalnya tentang aqidah uluhiyyah, apa itu? Maka aku kosongkan, tidak menjawab. Mungkin tak apa tidak dijawab. Aku pasrah, tidak diterima pun tak apa. Kemudian lanjut interview, aku diwawancarai oleh Kepala Sekolah. Kepala Sekolahnya perempuan. Dari tadi semenjak aku menginjakkan kaki di sekolah itu, aku tidak menemukan laki-laki satupun. Dan aku baru tahu dari Kepala Sekolah, bahwa ini adalah sekolah perempuan. Boarding School for Girls lebih tepatnya.

Gugup yang kurasa saat diwawancarai oleh Sang Kepala Sekolah. Aku ditanya mengenai yang tertera di biodata, latar belakang, pengalaman mengajar, dan tentunya pengetahuan agama Islamku. Jujur saja aku bukan seorang yang taat saat itu, pakai hijab pun tidak. Shalatku pun masih bolong-bolong, apalagi tentang pengetahuan agama Islamku yang kurang kupahami. Tapi aku diterima sebagai guru di sekolah tersebut. Senangnya bukan main, tapi aku agak ragu. Ragu untuk mengajar di sana, apakah aku sanggup menjadi guru dan menyamakan diri seperti guru-guru lainnya? Aku galau, apa aku batalkan saja? Tapi aku membutuhkan pekerjaan ini.

***

Namaku Aisyah, bukan nama sebenarnya. Nama Aisyah diambil dari nama kelas yang kini menjadi tanggung jawabku selama satu tahun, aku menjadi wali kelas lebih tepatnya. Sudah hampir dua tahun aku mengajar di sekolah tersebut. Banyak pengalaman berharga yang kudapat, seperti ilmu Islam. Semenjak aku mengajar di sekolah itu, aku berhijrah. Aku memakai hijab sekarang. Bukan hanya untuk mengajar saja, tapi dalam keseharian juga. Semoga aku bisa konsisten alias istikamah ya. Inilah pengalaman hijrahku. Aku yang dari masa lalu kelam menuju jalan terang. Aku bersyukur bisa mengajar di sekolah itu, meski di awalnya tak kusyukuri.

Hijrah StoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang