Malam itu, angin dingin yang masuk lewat lubang-lubang ventilasi jendela paviliun terasa sangat dingin. Kata mereka setiap hal selalu ada artinya (budaya Jepang) aku berharap angin dingin ini adalah pertanda baik. Tapi jika merasakan dinginnya yang menusuk-nusuk tubuhku, sepertinya bukan hal baik.
Mataku terasa sangat berat untuk bangun meskipun matahari sudah menyeruak terbit, sinarnya juga semakin menusuk-nusuk kelopak mataku agar aku membukanya. Aku mulai mengerjapkan mataku, terasa sangat berat dan sangat sakit ketika menatap langsung pada sinar sang surya. Sebelum aku memaki orang yang membuka jendela begitu lebarnya, mataku terlalu kagum karena melihat Oh Sehun yang sudah duduk tegap di depan mejaku.
Caranya menatapku benar-benar menyeramkan dan itu membuatku tidak nyaman. Tatapannya mengatakan kalau ia sangat menginginkan tubuhku. Tangan kanannya beralih mengambil teh hijau yang ada di depannya tapi tatapannya tidak pernah berpaling dari tubuhku.
"caramu tidur benar-benar mencerminkan kastamu. Serendah itukah derajatmu ?"
Aku tidak tersanjung (sama sekali tidak) tapi tidak juga tersinggung. Kurasa aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang biadab itu. Namun tetap saja pipiku merona karena ditatap seperti itu olehnya, apa dia melihatku tidur dengan selimut yang menutuoi seluruh tubuhku (kecuali kepala) atau dia melihatku tidur dengan gaya janin. Menurutku itu biasa saja, bahkan wajar. Dasar laki-laki aneh.
Mungkin tidak aneh jika ada seorang teman lelaki masuk ke kamarmu pada pagi hari. Tapi itu akan sangat berbeda jika lelaki itu menyukaimu, ditambah statusmu sebagai penyuka sesama jenis.
"minumlah teh ini, lalu segera bersihkan badanmu"
"Sehun-sama ..."
Dia baru saja akan pergi ketika aku memanggilnya. Dia tampak lebih tampan hari ini, meskipun dengan wajah terkejut karena ini pertama kali aku memanggil namanya dengan sebutan - sama pula.
"se .. semua ini .. aku .. maksudku, kenapa kau melakukan ini semua .. ? maksudku aku .. bukan .."
"aku menyukaimu. Itu alasannya"
Dia hanya mengatakan itu. Itu saja, tidak lebih. Hal yang ia lakukan setelah itu adalah melenggang pergi keluar paviliun tanpa berbalik melihatku atau sekedar menatapku. Aku .. baiklah aku mengaku aku mengharapkannya. Karena jujur saja, menurutku hadiah-hadiah darinya berhasil membuat hatiku (sedikit) luluh.
Kutegapkan badanku dan meregangkan semua ototku. Benar-benar terasa berbeda, sehari yang lalu aku masih tidur di atas timbunan jerami. Aku tidak tahu kalau hidup ini diwarnai dengan banyak kejutan. Maksudku, bisa saja kan ada kejutan lain yang akan datang padaku besok pagi atau lusa. Seperti .. bertemu jenderal Park, aku sangat merindukannya. Tapi harusnya aku sadar bahwa aku tidak akan pernah bertemu dengannya lagi, setidaknya pertemuan yang membuat hatiku bahagia.
Tidak ada hal seperti itu.
--------
Para gadis itu memandikaku lagi, sepertinya itu memang tugas mereka. Dan mereka memakaikanku kimono perempuan lagi. Walau aku mulai nyaman dengan balutan ini, tapi rasanya masih aneh memakai pakaian wanita.
Hari itu, di luar paviliun semuanya terdengar sangat sibuk. Aku berniat melihat keluar saat aku mendapati Oh Sehun masuk ke dalam pailiun di saat yang sama. Jadi posisi kami saat itu ... yah ... sangat dekat. Maksudku, ketika wajahmu berada di depan dada seorang Oh Sehun itu, sangat tidak nyaman. Apalagi punggungku juga menabrak almari pakaian di belakangku saat terkejut melihatnya memasuki paviliunku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AI
FanfictionKertas tua yang terluka akan goresan hidup Kim Jong In. Bukan sebuah saksi bisu sebuah kisah hidupnya namun sesosok pendengar yang bisa ia tumpui.