A Wonder (10)

483 61 18
                                    

Aku tidak pernah menyukai jalan hidupku, mungkin aku sangat membencinya. Tapi mereka benar, akhir bahagia tidak akan pernah terjadi dalam kehidupan seorang anak manusia. Pada akhirnya, penderitaan adalah pelabuhan terakhir yang memaksa kita menetap di sana. Ratapan, kesedihan, kemurungan. Setidaknya itulah yang kurasakan.

Ini adalah bagian terakhir cerita cintaku dengan seorang Jenderal Besar dan juga Penjahat tersohor Joseon. Kepingan hidupku yang rapuh ini akan segera kau dengar akhirnya. Mungkin ini tidak terdengar menyenangkan, tapi aku tidak menyukai akhir ceritaku. Terlalu hitam untuk menyiratkan kesedihanku, namun putih bukanlah warna yang sesuai untuk mengibaratkannya.

Mungkin sebaiknya aku tidak harus berlama-lama membuat kata pembuka yang membuat kalian mengasihiku. Karena ini bagian terakhir, kuharap kalian tidak menyesal untuk membacanya.

---

Di hari aku menaiki kudaku terakhir kalinya dengan membawa pedang telanjang menerobos kerumunan pasar Joseon. Hampir semua orang mengumpat padaku. Aku tahu, membawa pedang yang telanjang dengan kecepatan yang tidak wajar memang sangat menakutkan, bahkan dapat membunuhku.

Tapi justru itu yang kuinginkan, kematian. Aku lebih baik menuju ajal bersama Oh Sehun ketimbang bergelung di dunia kosong dan merasakan kehampaan tanpanya.

Kudaku menghentikan pijakannya tepat di depan kastil pertahanan Kepolisian Joseon. Aku segera turun dengan membawa pedang Oh Sehun yang masih kugenggam di tangan kiriku. Hingga Panglima Xi menggertakku dari belakang.

"aku tidak menduga kau akan berada di sini, Kim Jong In"

Suaranya yang tiba-tiba terdengar membuatku hampir menyabet perutnya dengan pedang Oh Sehun. Sayangnya, Panglima Xi terlalu lihai untuk menghindarinya. Wajahnya meringis takut padaku.

Dengan hati-hati, tangannya mengambil pedang Oh Sehun dari tanganku. Lalu melihat permukaan pedang yang telah diukir itu dengan hati-hati.

"ikut aku"

Matanya memicing padaku saat ia membaca ukiran itu.

Panglima Xi, atau Xi Luhan terlihat sangat berbeda dengan balutan handbook cokelat tua dan topi hitam yang melebar khas Joseon. Tanpa pangkat apapun, semenjak dia mendapat izin untuk tinggal di Joseon, dia harus melepas lencana dan pangkat panglimanya. Sangat tidak mudah baginya, namun dia mengatakan bahwa penangkapan Jenderal Besarnya lebih menyakitkan baginya. Terkadang, aku merasa sedikt cemburu dengan persahabatan mereka.

Kami berbicara di sebuah pondok kecil dengan penjual mie di kanan-kirinya. Kawasan ini memang ramai dengan pedagang kecil di sekelilingnya. Tapi pembicaraan kami tidak seharum bau masakan mie bibi-bibi pedagang itu.

"kau tidak mengajakku untuk makan siang kan ?"

Panglima Xi menatapku tajam, tangannya masih memegang pedang Oh Sehun dengan hati-hati. Mungkin Oh Sehun benar, aku mempunyai harga diri yang terlalu tinggi hingga terkadang hal itu membuatku mengeluarkan kata-kata yang menyebalkan.

"jika saja Jenderal Oh tidak mencintaimu, mungkin kau sudah habis di tanganku sekarang"

Aku menyukai kepribadian Panglima Xi, dia selalu teguh pada pendiriannya dan tetap mengabdi pada Oh Sehun, memanggilnya dengan jabatan Jenderal-nya. Di saat hampir dari seluruh mantan anak buah Oh Sehun mengolok-oloknya.

Tapi kata-kata panglima Xi membuat hatiku teriris, kenyataan bahwa Oh Sehun tidak mencintaiku mungkin belum diketahuinya.

"aku hanya memastikan, lagipula Oh Sehun tidak mencintaiku"

AITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang