Kami tertidur di atas tebing itu. Jika saja aku bisa memilih, aku ingin terus berada di tebing itu. Tanpa harus kembali dan menghadapi semua rajutan hidup menyakitkan yang sudah menunggu kami berdua. Aku pernah mendengarkan seorang pendeta dalam sebuah peribadatan, takdir adalah suatu garis yang harus ditempuh oleh seorang manusia. Pada saat itu, aku tidak mengerti kenapa banyak orang dewasa yang bermuka suram saat pendeta itu mengatakannya, sekarang aku mengerti. Terkadang, takdir membuat hidup kita tidak adil.
Saat aku terbangun di atas bantalan rumput hijau itu, aku merasa lega ketika melihat Oh Sehun yang masih terbaring di sampingku. Dan aku bersyukur mengetahui bahwa dia masih bernafas.
Kuusapkan tanganku dengan lembut di permukaan pipinya. Dingin, pasti karena angin yang semalaman berderu di atas tebing. Tapi syukurlah angin itu tidak membuat wajahku keras seperti batu es. Baju samurai biru tuanya masih tetap terbalut rapi, pedang di tangan kanannya masih tergenggam dengan kuat. Itulah yang kutakutkan, ketika seorang samurai menggenggam kuat pedangnya bahkan ketika dia mengistirahatkan tubuhnya. Maka insting samurai itu tengah bekerja, dan artinya, akan terlalu berbahaya hanya untuk meletakkan pedangnya.
Oh Sehun mengerjapkan matanya saat tanganku menyentuh lembut bekas luka di pipi kirinya. Matanya tampak serasi dengan embun yang menempel di bantalan rumput yang ada di bawahnya.
"kau menyukainya ? bekas lukaku ?"
Kusunggingkan tawa kecilku saat mendengarkan suamiku mengucapkan hal pertama yang ia katakan padaku di pagi itu.
Aku belum menjawab pertanyaannya namun tubuhnya telah terangkat dan mulai mencium bibirku lagi. Di pagi yang dingin, di bibir tebing. Dia benar-benar laki-laki yang menakjubkan dan terlalu berbeda dengan yang lainnya.
"kurasa kita harus kembali, aku tidak mau mereka khawatir"
Oh Sehun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Kemudian dia menggenggam tanganku dan mengajakku kembali menuju gua persembunyian kami. Kami tidak berbicara banyak selama di tengah perjalanan, hutan itu terlalu indah dan genggaman tangan Oh Sehun terlalu nyaman untuk dirasakan oleh tanganku.
Tapi Oh Sehun mulai mengeluarkan suaranya di tengah perjalanan. Dan itu bukan kata-kata yang kusukai.
"aku takut"
Aku terperangah mendengar kata yang diucapkannya. Oh Sehun bukanlah seorang pria yang mudah untuk sekedar mengatakan 'takut', apalagi memperlihatkan ketakutannya. Bahkan nadanya yang tegas masih dapat menyiratkan ketakutan yang besar dalam dirinya.
Kami memalingkan kepala kami berdua, menatap satu sama lain. Mata Oh Sehun terlihat sayu saat menatap bola mataku.
"aku tidak mau orang yang akan melindungiku ketakutan layaknya anak anjing yang kedinginan"
Oh Sehun tertawa saat mendengar perkataanku yang cukup kasar. Sedangkan aku tidak bisa menemukan kalimat lain yang lebih pantas dari itu. Aku tahu itu kasar, tapi aku tidak tahu kenapa lidahku mengatakaannya.
"haruskah orang itu menjadi anjing galak ? atau menjadi serigala untuk menolongmu ?"
"aku hanya ingin dia menjadi samurai yang kukenal"
Kami terdiam.
Oh Sehun tidak mengeluarkan sepatah katapun saat aku menjawab pertanyaannya. Mungkin jawabanku memang sedikit menyakiti hatinya, tapi aku hanya ingin mengatakan yang sebenarnya. Bahwa aku telah kehilangan sosok samurai yang melindungiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AI
FanfictionKertas tua yang terluka akan goresan hidup Kim Jong In. Bukan sebuah saksi bisu sebuah kisah hidupnya namun sesosok pendengar yang bisa ia tumpui.