Para pelayan mengatakan padaku bahwa aku tertidur atau lebih tepatnya tidak sadar selama 5 hari, dan ketika aku bangun, aku berharap pembantaian Jenderal Park oleh Oh Sehun hanyalah mimpi buruk belaka. Bahkan para pelayan mengatakan bahwa dalam tidurku, aku tetap mengeluarkan air mata dan seringkali memanggil nama Jenderal Park. Aku masih sangat mencintainya. Namun, ketika mataku terbuka, aku lebih memilih mati ketimbang melihat Oh Sehun yang lengkap dengan baju samurainya duduk tegap di bantal duduk yang ada di samping kasur gulungku. Dia tertidur, dengan duduk. Aku tahu itu mustahil, tapi itulah Oh Sehun.
Dalam keadaan yang lemah, hatiku terus mengumpat padanya dan hasratku untuk membunuhnya semakin menjadi. Bahkan aku mencoba berdiri dan hampir menusukkan belati kecil yang ada di bawah bantalku pada jantungnya. Harusnya itu berhasil, jika saja Oh Sehun tidak menangkisnya. Aku tahu dia sangat hebat, tapi kehebatannya seringkali membuatku resah seperti ini.
"tahanlah hasratmu untuk membunuhku"
Ucapnya dengan masih menggenggam pergelangan tanganku yang sudah akan menghunusnya dengan belati kecilku. Matanya menatapku dengan sangat tajam, meskipun begitu, sangat tampak lingkaran hitam yang melingkari mata elangnya.
"akan kupanggil tabib. Berbaringlah"
Tak ada kata maaf, tak ada pula penyesalan yang kutangkap dari nadanya. Datar, dingin, dan seperti Oh Sehun yang biasanya. 5 hari yang lalu dia menghabisi Jenderal Park dengan tangan dan busurnya sendiri. Dalam keadaan yang mengenaskan pula aku melihat kematian seorang yang sangat kucintai. Namun Oh Sehun tetap terlihat seperti seorang Panglima Perang yang angkuh dan pongah.
Dia pergi meninggalkanku dan sangat jelas bahwa Ia juga mengabaikan air mataku yang sudah ada di pelupuk kelopak mataku. Isakanku mulai terdengar dalam ruangan senyap itu saat Oh Sehun benar-benar keluar dari ruangan paviliun itu. Lelaki iblis itu sekarang sudah berstatus sebagai suamiku, yang mana dia pasti mengambil alih seluruh hal yang menjadi milikku.
"tuan ... syukurlah kau sudah bangun. Kami menunggumu selama berhari-hari namun kau tidak menunjukkan satupun perkembangan. Syukurlah Sehun-sama sangat setia untuk menantimu bangkit dari tidur panjangmu tuan ..."
Setidaknya kata-kata itulah yang kuingat saat seorang pria dan 2 orang wanita yang kuyakini seorang tabib dan pelayannya itu masuk ke dalam ruang paviliunku. Tapi tanpa suamiku.
Kalimat tabib itu membuatku sadar, bahwa lingkaran hitam pada mata Oh Sehun disebabkan karenaku. Apa dia begitu khawatir pada keadaanku ? Entahlah, tapi salah satu bagian di hatiku merasa sangat senang mengetahui kenyataan itu.
Tabib itu memeriksa nadiku, sedangkan kedua wanita yang lainnya mengganti perban yang ada di punggungku dan membersihkan luka yang juga terukir jelas pada punggungku. Jika orang lain yang merasakannya, mungkin mereka akan menjerit karena sakitnya memang sangat di luar kendali. Tapi karena terlalu banyak masalah yang menimpaku saat itu, mungkin karena itulah sakit yang ada di punggungku menjadi tidak begitu berarti.
Tidak lama kemudian tabib itu pergi. Meninggalkanku sendiri lagi dalam paviliun kecil itu. Mataku menatap bulan yang sedang bersinar terang lewat jendela sederhana yang ada di sisi kanan paviliun. Wajah Jenderal Park terekam kembali di otakku, saat pertama kita berjumpa, senyumnya, saat dia mengenakan baju kepolisian, bahkan ketika aku merasakan ciuman darinya di saat itu.
Air mataku turun dengan derasnya, tanpa Oh Sehun di sini setidaknya aku merasa lebih baik. Saat itu hasratku untuk membunuhnya masihlah sangat besar. Dan malam itu serta malam-malam berikutnya aku tertidur pulas dengan bayangan kematian Jenderal Park yang masih bersemayam dalam setiap untaian kenangan di otakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
AI
FanficKertas tua yang terluka akan goresan hidup Kim Jong In. Bukan sebuah saksi bisu sebuah kisah hidupnya namun sesosok pendengar yang bisa ia tumpui.