Sally 05 : Dinner

243 31 9
                                    

Suasana malam hari dari roftoop cafe membuat Sally berkali-kali memuji keindahan Jakarta. Angin berhembus mengelus pipinya secara perlahan.

"Gimana? Suka gak kue nya?" tanya Gary. Sally mengangguk dengan cepat.

"Bagus deh, kalo diajak makan di warteg mau gak?" Gary menggoda Sally.

Sally tertawa. "Mau lah! Banyak makanan favorite gue disana."

"Ternyata bukan cewek yang menye-menye yah?" Gary dan Sally tertawa secara bersamaan. Lalu keduanya kembali menikmati cake yang sudah hampir habis.

"Oh iya, soal Rian, dia di skors selama seminggu. Kalo dia gangguin lo lagi dia bisa dikeluarin dari sekolah," ucap Gary.

"Ah, Rian ya." Sally menggaruk lehernya yang tidak gatal. Gary menghembuskan nafas, pasti Sally tak ingin membahas soal Rian. Gary harus mencari topik lain.

"Sally, gue belum ada perasaan sama lo." Gary berusaha jujur. Sally sedikit tersenyum.

"Gak apa-apa, Ry.Cinta kan gak bisa dipaksain, kalo dipaksain hasilnya jadi gak bagus. Gue nunggu kok." Gary menatap Sally tak percaya. Bagaimana bisa seorang perempuan bisa menunggu Gary yang sangat dingin ini.

Tapi anehnya, ketika bersama Sally, sifat dingin itu sedikit menghilang. Dengan Sally, Gary mau berbicara.

"Gue punya pengalaman buruk soal kaya gini juga. Mantan gue terlalu maksain perasaannya dia buat bertahan sama gue. Padahal kita udah pacaran 2 tahun, tapi putus karna dia bosen dan udah nemuin yang lebih baik lagi katanya." Sally memainkan kedua jarinya. Ini kali pertama ia terbuka dengan lelaki.

Gary hanya diam menatap mata Sally. Sally jadi gugup sendiri.

"Kenapa? Serem ya kalo udah bahas mantan? Gue aja yang ceritain merinding nih dari tadi," ucap Sally. Gary tertawa terbahak-bahak. Benar-benar tidak bisa menahan tawanya.

"Udah-udah nanti nangis." Sally ikut meredakan tawanya. Melihat Gary tertawa, Sally jadi ikut terbawa.

"Terus abis itu lo gimana?" tanya Gary yang semakin penasaran. Bagaimana bisa lelaki itu menyakiti Sally yang begitu cantik.

"Ya, dia jujur tapi dalam keadaan dia masih pacar gue dan dia udah pacaran juga hari itu sama cewek yang dia kejar." Sally sedikit tertawa. Gary hanya diam. Heran dengan Sally yang menceritakan soal pengalaman buruk tapi masih bisa menunjukan tawanya.

"Suatu saat dia pasti bakal nyesel," ucap Gary dengan kepercayaan dirinya. Sally menaikan alis.

"Menurut gue dia bakal lebih bahagia sama yang sekarang sih. Soalnya gue itu kan cewek aneh yang kerjaannya diem terus, pas sama dia selalu iya-iya nurutin apa yang dia bilang, dan dia orangnya seneng jalan-jalan malem. Sedangkan gue gak boleh keluar malem." Sally mengambil nafas.

"Gue tipe cewek yang kemana-mana harus dijagain waktu itu. Dulu aja nih padahal gue berdiri di depan pintu, sendal gue ada di luar pager rumah, eh udah dicariin. Padahal baru sendal gue yang keluar rumah." Gary lagi-lagi tertawa.

"Tapi, sekarang kok boleh dinner?" tanya Gary.

"Sekarang kan udah 17 tahun, jadi udah dibebasin deh. Gue pacaran dari umur 15 tahun tau." Sally tertawa.

"Gue rasa dia bakalan beneran nyesel karna udah buang mutiara kaya lo," ucap Gary.

"Kenapa lo bisa yakin?" tanya Sally.

"Gue yakin, tiap orang baik pasti dapet jodoh yang baik juga, begitupun sebaliknya. Jadi gue percaya aja, suatu saat lo dapet jodoh yang sama sifatnya kaya lo. Jodoh kan cerminan dari diri kita sendiri." Sally terdiam lalu akhirnya mengangguk.

"Kalo diri lo belum baik, mending diperbaikin dari sekarang. Atau semuanya bakalan terlambat," ucap Garry lagi. Sally tersenyum.

Sally akan terus mengingat nasehat Garry.

*

"Gak mau mampir dulu?" tanya Sally yang sudah keluar dari mobil Gary.

"Langsung aja deh, gak enak udah malem juga." Sally mengangguk mengerti.

"Bye." Garry melambaikan tangan lalu Sally membalasnya. Gary segera menutup kaca mobil dan melaju kembali kerumahnya.

Sally masuk kedalam rumah dengan wajah yang berseri. Ia menyalakan lampu saat berada di ruang tamu.

Kedua orangtua dan adik Sally, Yora, menatap Sally dengan tatapan aneh.

"Tuh, liat tuh Kakak kamu kaya orang gak waras." bisik Ibunda Sally kepada Yora. Yora mengangguk setuju.

"annyeong!" Sally menyapa adiknya dengan mencubit kedua pipi adiknya sampai mengaduh kesakitan.

"Assalamualaikum, Pah, Mah." Sally mengecup kedua tangan orang tuanya.

"Kamu kenapa sih?" tanya Ayah Sally. Sally menatap Ayahnya dengan tatapan bingung.

"Kamu kaya orang gak waras, pulang-pulang senyum-senyum sendiri." Lanjut Ibunda Sally.

"Jangan-jangan Sally abis dari club malam ya! Ya Allah, anakku sayang, sebentar lagi mau kelas 3 SMA. Jangan bandel, Nak. Kasian Ayah, Ibu." kedua orangtua Sally segera memeluk Sally. Sally menatap keduanya bingung.

"Sally gak abis dari club kok. Sally lagi seneng sama orang, Yah, Bun," ucap Sally.

"Siapa? Ganteng gak, Kak? Kalo iya gue tikung boleh?" Sally segera menyentil kening adiknya.

"Nanti Ayah, Bunda, sama Yora juga bakal tau. Nanti Sally kasih tau kalo udah resmi. Sally tidur dulu ya." Sally langsung kabur begitu saja.

"Dasar ya anakmu. Bikin orangtuanya penasaran," ucap Bunda Sally.

"Anak Bunda juga kan," ucap Ayah dan Yora. Ibunda Sally hanya menggeleng pelan lalu berlalu ke kamar. Meninggalkan keluarga yang menurutnya aneh.

Sedangkan Sally berdoa sebelum ia terlelap dalam mimpinya. Kalau hanya Garry yang terakhir untuknya. Sally lelah bermain lagi, Sally sudah dewasa dan harus bisa bertahan dalam rintangan yang mungkin nanti akan menghampirinya.

Sally hanya percaya, Garry bisa membuatnya merasa lebih berharga dibanding dengan yang sebelumnya.

*

17 Maret 2018

Beauty Popular Girl Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang