2nd Journey

330 36 25
                                    

Lucas POV

🚩 Washington DC, USA

Aku terbangun pagi ini merasakan kram di bagian leherku. Karena, tadi malam aku tidur dalam posisi duduk. Ku gerakkan sedikit tubuhku sekadar melakukan relaksasi dan kembali diam menatap seseorang yang tengah terbaring tak sadarkan diri di hadapanku. Ya, kalian pasti tau siapa dan kenapa hal ini terjadi. Ku genggam tangannya dan ku kecup perlahan. Terasa dingin.

"Sayang, bangunlah. Kumohon," ucapku lirih.

Sayangnya, ia masih tetap setia menutup matanya. Dengan perban yang menempel di sekitar kepalanya, gips yang terpasang di leher, juga beberapa luka memar di sekitar wajah manisnya. Aku sungguh merasa marah dan menyesal. Menyesal karena tidak bisa datang di saat yang tepat.

"Maafkan aku. Ini semua salahku. Kenapa aku tak langsung menemuimu atau bicara padamu saat pertama kali aku melihatmu."

"Aku merasa sangat gagal jika sesuatu yang lebih buruk dari ini terjadi padamu. Aku merasa tak pantas menemuimu setelah apa yang ku lakukan," kataku sambil mencium tangannya yang masih setia ku genggam, "Andai aku datang lebih cepat. Mereka bahkan berani menyentuhmu."

Ku rasakan gerakan tangannya saat ku coba mengusap kepalanya perlahan. Matanya mulai terbuka, napasnya mulai teratur.

"Sayang, kau baik-baik saja?" tanyaku kegirangan, "Dimana yang terasa sakit?"

Dia hanya menatap sekitar dengan tatapan bingung. Mungkin karena kepalanya pening, dan ia bangun di tempat yang asing makanya ia jadi bingung.

"Pa ... Papa? Kau kah itu?" tanyanya.

"Iya sayang, ini aku," kataku sambil menggenggam tangannya dan membantu untuk duduk.

Ia menangis.

"Sayang, ada apa?"

"Papa ... aku ... aku sangat merindukanmu," ucapnya. Aku segera memeluknya dengan erat, mengusap punggungnya, dan mencium kepalanya dengan sayang.

"Aku di sini, sayang. Tak perlu khawatir, oke? Sekarang tenanglah."

"Hiks ... aku takut, Papa. Jangan tinggalkan aku sendiri lagi. Aku benar-benar takut," katanya semakin mengeratkan pelukan.

"Hey, siapa yang ingin meninggalkanmu? Aku akan tetap di sini bersamamu. Selama apapun yang kau mau."

"Tapi, bisakah kau nyalakan lampu? Ini sudah malam dan kau masih mematikan lampunya?"

Aku terkejut dan melepas pelukan kami. Malam? Gelap? Bahkan sekarang matahari sedang bersinar sangat terang.

"Sayang, kau tunggu di sini sebentar, oke?" kataku langsung berlari keluar ke ruang dokter yang merupakan teman sesama dokter di rumah sakit yang sama denganku.

"Kun, tolong aku," kataku sambil mengatur napas.

"Hey, bung. Santai sedikit. Ada apa?"

"Kekasihku. Bagaimana bisa?"

"Ada apa dengan kekasihmu? Apa dia sudah sadar?"

"Bagaimana bisa matanya menjadi buta?!" kataku sambil menaikkan nada suara.

"Luke, tenanglah."

"Dia bangun dan tidak bisa melihat apapun!"

"Luke, duduklah. Biar ku jelaskan," katanya.

Aku segera duduk di kursi tepat di depannya, "Aku harap ini bukan sesuatu yang buruk, Kun."

"Ini, lihatlah hasil rontgen dari Jungwoo," ucapnya sambil menyodorkan hasil rontgen padaku.

Endless GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang