New York

351 44 2
                                    

Vlad’s POV
.
.
.
.
.

Hari ini aku tengah membereskan beberapa barangku di kantor, karena hari ini akan ada konferensi besar untuk para Pskiater dan Dokter jiwa –terbaik- dan aku menjadi salah satu Dokter jiwa yang diundang untuk pergi ke Washington DC. Jujur saja aku malas, bukankah lebih baik aku menulis lagu saja di apartemen, atau di kantor juga bukan masalah. Tapi realita berkata sebaliknya.

Aku keluar dari rumah sakit dari California menuju ke Gedung Putih menggunakan mobil pribadiku, aku biasa pergi sendirian kemanapun. Kekasih? Oh, tentu aku punya. Tapi dia tidak disini, setidaknya untuk saat ini.

Setelah sampai dan memarkirkan mobilku, aku merapikan baju sebentar. Mereka tak mengharuskanku memakai pakaian formal jadi aku hanya menggunakan kemeja panjang berwarna putih, dengan celana jeans pensil dan sepatu hitam.

Saat aku memasuki gedung, mereka menyambutku dengan baik, well... karena aku merupakan salah satu dokter yang paling berpengaruh dari antara semua yang hadir, termasuk kakakku. Aku mengambil tempat duduk yang tak jauh dari panggung, karena aku tak mau duduk dekat dengan kakak. Yah, kalian bisa menebaknya hubungan kami tak berjalan dengan baik, bahkan sejak kecil.

Konferensi dimulai, MC telah membuka acara dan seperti biasa -
— sambutan membosankan dari Tuan Donald Trumph. Sedikit membuang waktu, akhirnya MC memanggil salah satu aktifis yang mereka bilang terkenal, tapi aku bahkan tidak tahu jika ada seorang aktifis yang di undang hari ini. Aktifis tersebut berjalan menaiki panggung, tunggu..  seorang laki-laki yang tak asing bagiku. Dia seperti.. tunggu.. bukankah dia.. kekasihku? Aku terkejut. Mulutku bahkan sulit untuk menutup. Dia, orang yang selalu ku rindukan. Dia.. disini? Sungguh ini pertama kalinya aku tidak menyesal datang ke sebuah konferensi. Dalam sekejap aku tersenyum. Dia masih sama seperti dulu.

Aku tahu beberapa dari kalian menganggap ini hal yang tabu, memang benar. Tapi aku tak peduli, terserah apa pikiran kalian tapi aku punya alasan untuk itu.

Dia berbicara, suaranya pun masih sama. Sampai pada sesi pertanyaan, haruskah aku bertanya? Hm... baiklah.

"Selamat malam, tuan. Saya ingin mengajukan sebuah pertanyaan," tanyaku. "

Dia mempersilahkan, sepertinya dia tidak bisa melihatku. Semua sorot lampu dan kamera tertuju padanya. Oh yang benar saja— aku sedikit tidak rela jika kekasihku dilihat orang banyak.

"Menurut anda, mengapa semakin hari, angka laju pertumbuhan orang yang mengakui dirinya adalah kaum LGBT semakin marak? Bagaimana pandangan anda tentang mereka? Dan apa yang harus kita lakukan? Membiarkannya? Atau membasminya?"

Pertanyaan ini melesat dari mulutku tanpa jeda. Padat dan jelas. Sebelum akhirnya dia menjawab.

"Umm.. Menurut saya..."

Dia terdiam untuk beberapa saat.

"Dan apakah anda salah satu diantara mereka? Tuan Lee Azzam?"

Sebenarnya aku hanya ingin tahu reaksinya, bukan bermaksud apa-apa. Tapi dia terlihat gelisah, apa aku keterlaluan?

"Interupsi! Izinkan saya menjawab,"

suara seseorang memecah suasana.

' sial, kenapa malah dia yg menjawab?! ' pikirku dalam hati. Aku menunggu jawabannya, akankah ia mengatakan yang sebenarnya kepada publik? Ahh bagaimana lagi.  Akhirnya kubiarkan dia menjawabnya, namun siapa peduli dengan jawabannya. Aku hanya ingin melihat kucing manis ku. Setidaknya malam ini aku bisa berbicara langsung denganya. Yaa.. Walau mungkin dia tidak menyadari siapa orang yang bertanya padanya.

***

Acara telah selesai, aku ingin cepat pulang. Biasanya aku pulang sebelum acara selesai. Tapi kali ini.. Ahh.. Mengapa terasa begitu cepat? Kufikir aku harus mengajak kekasihku ke apartemen. Sudah dua tahun kami tidak bertemu. Aku tak pernah memberinya kabar.. Apa aku keterlaluan? Kurasa tidak. Aku melakukan ini untuk kebaikannya.

Dia berjalan sendirian ke arah pintu keluar, ' mau kemana dia? ' tanyaku dalam hati. Akhirnya aku hanya mengikuti nya dari belakang. Mungkin dia hanya ingin menikmati udara malam di New York. Kuikuti langkah kecilnya, sedikit menjaga jarak. Aku ingin membuat sebuah kejutan.

Aku masih mengikutinya, gemerlap lampu menghiasi kota besar yang tak pernah sepi ini. Dengan sedikit rasa khawatir tentunya. Ya— kota ini memiliki tingkat kriminalisme yang cukup tinggi. Tak heran, jumlah pasien rumah sakit jiwa di negara ini jauh lebih banyak dibanding tempat kelahiranku.

Tunggu.. Jangan bilang dia akan menghampiri gerombolan orang yang terlihat sedang memaksa seorang perempuan entah untuk apa. Tidak, dia tak boleh terlibat. Ini terlalu berbahaya untuknya!

Dengan segera ku percepat langkah kaki menuju ke arahnya dan membekap mulutnya dari belakang dan menariknya ke sebuah gang kecil disana.

"Mmm... lepaskan... lepas... kan..."

Tunggu dulu. Dia... pingsan? Apa aku mebekapnya hingga ia sulit bernafas? Aku panik dan segera memesan taksi terdekat. Aku membawanya ke apartemen ku. Aku tak tau kemana lagi aku harus membawanya.

***

Dia tertidur pulas sekarang, tanpa baju. Tapi jangan berpikiran aneh dulu, aku tak melakukan apapun. Dia masih memakai celananya. Aku hanya sekedar memeriksanya tadi. Ya .. Walau sejujurnya aku merindukan tubuh ini.. Apa yang ku fikirkan? Huh.. Suhu tubuhnya sangat panas saat ini, ia sedang sakit.

"Kenapa kau bisa sakit, hm? Kau membuatku khawatir, sayang,"  ku belai dan ku kecup keningnya perlahan sambil menempelkan handuk basah di kepalanya. Ahh.. Aku merindukanmu, sungguh. Sampai suara handphone mengalihkan kegiatan ku.

' drrtt... drrtt... '

"Halo...?" Ucapku

Seseorang bicara disana,

"Dokter, pasien kamar 402 mengalami kejang seketika. Saat ini hanya ada dokter jaga, tapi ia sedang memeriksa ruang bawah, bisa kau datang kemari sekarang?"

Ia mebelfonku, ia adalah suster sekaligus asisten kepercayaanku.

"Bagaimana mungkin bisa seperti itu! Baiklah, aku akan kesana sekarang."

Baru saja aku bertemu dengan kekasih ku dan sekarang aku harus pergi lagi. Sial.

"Sayang, kau istirahatlah disini ya. Aku akan kembali, hanya sebentar," ucapku sambil mencium keningnya lagi dan bergegas ke rumah sakit. Aku tak sempat menulis surat untuk berjaga jika dia terbangun sebelum aku datang. Kuharap dia baik baik saja.

***

Untunglah, jarak antara rumah sakit dan apartemenku tidaklah begitu jauh. Aku sampai disana tepat pada waktunya. Ruangan 402. Aku mulai memeriksanya dan memberinya beberapa suntikan penenang.

Ia adalah seorang wanita tua yang kehilangan anak semata wayangnya karena sebuah kecelakaan mobil. Ia tidak memiliki siapun, suaminya meninggal sesaat setelah kepergian putra semata wayangnya. Sungguh menyedihkan.

Tak butuh waktu lama, dokter lain datang dan menggantikan pekerjaanku. Kini aku bisa pulang dan bertemu dengan kekasihku. Aku sungguh merindukannya.

Sepertinya membelikan dia makanan kesukaannya akan menjadi sesuatu yang bagus. Kuputuskan untuk membeli pizza terlezat di kota ini.

***

"Kitten I'm ba...ck"

Dia menghilang. Tak ada seorangpun disana. Hanya ada sebuah buku tergeletak di tempat dimana ia sebelumnya berbaring.

Kemana dia pergi? Ahh.. Perkiraanku benar.. Lalu dimana aku bisa menemukannya?

Kuletakan kembali buku itu keatas rak buku.. Tunggu.. Aku menemukan secarik kertas bertuliskan "terima kasih" dan nomer telfon menggunakan huruf hangul. Gotcha!

.
.
.
.
.

2nd plot. Write by Vlad. With love ♥

Endless GoodbyeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang