Bab 27

1.4K 158 139
                                    

HANTU ITU TERLIHAT MENGANGGUK DAN MEMBUKA TOPENGNYA.

Nampaklah wajah yang benar-benar sangat familiar bagiku.

“Apakah hanya manusia saja yang bisa berbohong Clara? Apa kau pikir semua hantu yang kau temui berkata jujur?”

Setelah dia menanyai dua hal itu dia berbalik pergi dan kembali berjalan membungkuk ke arah lubang menuju ruang bawah tanah tersebut. Papan pun kembali menutup dan tempat tidur pun kembali ke tempatnya.

Keadaan sama seperti semula namun ini merupakan langkah awal dari teka-teki ini. Misteri ini sudah mencapai titik terang dan sekarang aku tahu apa yang sebenarnya dimaksudkan nenek di mimpiku itu.

Aku menunggu sampai malam tiba.

Semua sudah semakin jelas dan nggak ada lagi yang perlu disembunyikan. Aku mengkhawatirkan nasib Ibu, apa dia akan baik-baik saja? Kenapa aku punya semacam firasat bahwa ada sesuatu hal buruk yang akan menimpanya? Kenapa aku merasa bahwa ramalan nenek untuk Ibu akan segera terjadi?

Aku sendirian di kamar ini. Tak ada siapapun bahkan tak ada hantu yang berkeliaran di sini. Ternyata selama ini aku berada di jalan yang salah. Aku terlalu mempercayai hantu-hantu yang selama ini kuanggap baik padaku. Ternyata hantu itu juga bisa berbohong, benar apa kata Winda.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan lebih sedikit ketika aku mendengar ada yang membuka pintu dengan suara keras.

Aku harap itu Ibu, jadi aku berdiri dari kursiku dan hendak pergi keluar, namun sebuah suara yang sudah sangat kukenal menahanku, “Tunggu dulu Clara! Kau mau kemana?”

Dengan gerakan lambat aku berbalik dan tersenyum manis ke arah Wilona. Hantu itu agak heran melihatku namun dia ikut tersenyum.

“Halo Wilona. Bagaimana dengan pengintaianmu terhadap lelaki misterius itu?” tanyaku dengan nada biasa supaya nggak menimbulkan curiga.

“Oh ya!” dia menepuk keningnya sendiri. “Mereka akan datang ke sini Clara, gawat sekali! Bisa saja besok atau mungkin lusa! Mereka sepertinya benar-benar berkeinginan untuk segera membangkitkan kembali ritual kuno itu. Kau harus berhati-hati dan mana Ibumu? Mungkin sudah saatnya kau memberitahukan ini kepadanya.”

Aku membuat ekspresi terkejut yang dramatis.

“Ya ampun! Jadi, apa yang harus kita lakukan?” aku rasa aku nggak berbakat akting.

Wilona mengelus-ngelus dagunya sebelum berkata. Suaranya kali ini terdengar dalam dan mengandung arti lain di baliknya.

“Aku mungkin bisa menahan mereka, lagian mereka kan manusia. Tapi aku nggak tahu dengan hantu mereka. Mereka pasti punya hantu yang memudahkan mereka untuk mengambil lembaran sakramen itu.”

“Tapi kau kan pernah bilang bahwa hantu yang mau menuruti permintaan manusia adalah hantu yang lemah?” sindirku teringat dengan perkataan Wilona beberapa minggu lalu.

Muka Wilona nggak berubah sama sekali seakan dia nggak menangkap sindiran dari perkataanku tadi. Terdengar suara kaki yang menaiki tangga. Aku menatap sebentar ke pintu dan berbalik lagi ke arah Wilona.

“Sepertinya mereka sekarang sudah di sini. Apa yang harus kita lakukan Wilona, atau mesti kupanggil anaknya Ibu Marsita, istri kedua Alfred?” aku tersenyum penuh arti kepadanya.

Mata kanan Wilona terbelalak dan akhirnya keluar dari rongganya lalu jatuh terhempas di lantai. Wilona nampaknya nggak berniat sedikitpun untuk mengambilnya.

Dia berkata dengan suara agak gemetar, suara yang tak pernah dia keluarkan sebelumnya, “Bagaimana kau tahu akan hal itu?”

“Jadi kau mengakuinya kan?” aku tersenyum makin lebar.

“Aku sudah tahu semuanya. Ternyata bukan hanya manusia yang bisa berbohong tapi hantu pun bisa berbohong.”

Aku berjalan mendekati Wilona sambil menyilangkan kedua tanganku di depan dada. Entah darimana aku mendapatkan keberanian ini. Setelah aku benar-benar berada di depannya, aku memandang langsung matanya yang hanya berupa lubang kosong sekarang.

“Kau membohongiku selama ini. Kau berpura-pura menjadi temanku dan menolongku memecahkan misteri ini padahal kau sudah tahu semuanya. Kau berpura-pura tentang semuanya dari awal. Windalah yang seharusnya jadi penunggu tempat tidur ini tetapi entah darimana caranya, kau berhasil mengusirnya dan menempatkannya di ruang bawah tanah yang seharusnya menjadi tempatmu.

Suara yang kita dengar itu sebenarnya adalah suaramu sendiri, kau berusaha menakut-nakutiku dengan menciptakan suara seakan-akan itu berasal dari sesuatu yang tak tampak. Dan aku juga baru ingat kalau kau bisa berbicara tanpa menggerakkan bibirmu.

Kau pada waktu itu bersikeras menolak turun ke bawah karena takut kalau hantu Winda akan mendatangimu dan mengacaukan semua rencanamu. Kaulah yang menciptakan mimpi untukku ketika aku terbaring di atas tempat tidur di ruangan itu, karena sebenarnya tempat tidur itulah yang merupakan kepunyaanmu. Apa aku benar?”

Wilona terdiam tertegun melihatku kemudian dia menyeringai menampakkan gigi-gigi taringnya.

Dengan cepat tanpa kusadari tangannya melayang dan mengenaiku sehingga aku menabrak dinding dengan sangat keras. Aku bisa merasakan sakit di hampir seluruh tubuhku.

Pintu kamarku terbuka dan masuklah dua orang berjubah hitam, orang-orang yang mencuri lembaran sakramen itu.

“Bagus Wilona, anakku,” kata seorang dari mereka yang memakai topeng.

Dia membuka topengnya dan nampaklah wajah wanita setengah baya berumur pertengahan limapuluhan. Walau dia sudah tua sekarang, tapi garis-garis kecantikan yang dulu pernah dimilikinya masih ada. Perempuan ini adalah Marsita, Ibunya Wilona.

“Aku pasti akan menepati janjiku padamu.”

Aku merasa pusing yang amat sangat namun aku masih sadar. Aku masih bisa mengungkap kebenaran dari misteri ini. Aku memandangi Marsita tajam dan berseru memanggilnya.

“Hei kau! Dasar nenek jahat!”

Marsita menoleh dengan marah ke arahku.

“Apa yang kau katakan tadi anak kurang ajar!?”

“Aku bilang kau nenek jahat! Kau membunuh suamimu sendiri, kau menjadikan anakmu sebagai tumbal sebuah ritual kuno menjijikkan, kau menghancurkan keluarga ini dan kau adalah buronan polisi! Sekarang kau kembali ke sini 23 tahun setelah kejadian ini hanya untuk membangkitkan sekte konyolmu itu! Benar-benar tidak berperikemanusiaan!” aku meludah ke arahnya. Mungkin ini nggak patut dicontoh, tapi wanita ini pantas mendapatkannya.

Marsita hanya tersenyum sinis saja mendengar ocehanku.

“Kau katakan hal itu sekali lagi bocah, maka kau akan melihat ini.”

Dia memberi isyarat kepada lelaki di sampingnya dan lelaki itu pergi keluar kemudian masuk lagi dengan menyeret seonggok mayat dari seseorang yang sangat kukenal.

“Kau tahu siapa dia?”

Mataku terbelalak demi melihat siapa mayat di depanku ini. Aku tak bisa mempercayai apa yang kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Air mata mengalir dengan cepat membasahi pipiku.

Mayat itu benar-benar dalam keadaan mengerikan. Kelopak matanya telah dipotong, alisnya telah dicukur habis, mulutnya menganga menampakkan lidahnya yang telah hilang, kepalanya berdarah-darah seperti dipukul dengan benda keras, di tubuhnya terdapat tiga luka tusuk, satu di perut, dua di bagian dada. Darah segar mengucur dari luka itu.

Lidahku terasa cekat berucap, rasa sakit luar biasa menimpaku. Mayat itu adalah orang yang amat aku kenal. Seseorang yang sangat berarti bagiku.

"Ibu?!"

Bersambung..

Clara and New House [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang