I. Hijikata Toshirou

612 33 16
                                    


Toshi! Toshi!

Hijikata-san! Bangun!

Fukucho! Fukucho!

Panggil paramedik! Cepat!

Kondou-san, darahnya tak berhenti mengalir.

Kuso, dia mulai kejang-kejang.

Mana paramediknya, temmera!?

Toshi, bertahanlah!

Hijikata-san, atur napasmu. Tenangkan dirimu.

Fukucho!

Toshi!

Kondou-san, sorot matanya kosong.

Kyoukuchou, Fu-Fukuchou berhenti bergerak...

Tidak, tidak!

Hijikata Toshirou!

Hijikata terbangun dari tidurnya. Apa itu tadi? Mimpi?

Sudah empat hari Hijikata memimpikan hal yang sama. Peperangan, darah, dan kematian. Anak buahnya di sana, di medan perang, mengayunkan pedang seakan mereka tidak akan melihat hari esok.

Hal yang sama terjadi padanya, seperti mimpi-mimpinya sebelumnya. Hijikata terbaring di tanah. Darah tak berhenti mengalir dari mulut dan hidungnya. Sesekali, dia terbatuk dan darah menyembur dari mulutnya.

Hijikata bisa melihat Kondou, Sougo, Yamazaki, Sasaki, Saitou, dan beberapa orang lainnya mengerumuninya. Mereka meneriaki namanya, memintanya untuk tetap bertahan. Tapi, mereka berteriak seakan-akan Hijikata tidak selamat dari peperangan. Padahal, kedua matanya terbuka lebar dan masih bisa melihat teman-temannya dengan jelas.

Hijkata mencoba mengatur napasnya. Tarik, buang. Tarik, buang, dan dia merasa sedikit tenang.

Hijikata menoleh ke kiri. Mitsuba tidur dengan pulas. Kelihatannya, Mitsuba tak menyadari pergerakan yang dibuatnya barusan. Hijikata mendengus, wajahnya terlihat lega.

Hijikata mengubah posisinya. Telapak tangannya menopang pelipisnya sekarang. Hijikata memperhatikan Mitsuba yang terlelap dengan wajah polosnya. Memperhatikan Mitsuba saat istrinya itu tidur benar-benar menenangkan hatinya.

Kenapa aku mencintai Mitsuba?

Pertanyaan tersebut terus berulang di kepala Hijikata. Hijikata mengelus pipi Mitsuba dengan jemarinya. Mitsuba tak bergerak, dan Hijikata tahu bahwa istrinya tidak akan bangun dari tidurnya semudah itu.

Kenapa aku mencintai Mitsuba?

Karena Mitsuba memberiku kehidupan. Mitsuba memberiku kesempatan untuk hidup layaknya orang-orang biasa.

Dengan sabar, Mitsuba menerima semua kekuranganku, membuatku merasa utuh. Dia menungguku di saat aku meninggalkannya. Dia terus memandangi punggungku tanpa memintaku menoleh padanya.

Entah bagaimana caranya aku bisa membalasnya. Terkadang, aku ragu tidak bisa membalas kehangatannya. Aku khawatir tidak bisa memberikan apa yang dia inginkan. Tapi, Mitsuba tak pernah meminta. Sekalinya meminta, dia hanya ingin aku pulang ke pelukannya dalam keadaan utuh.

Hijikata mengingat kembali momen-momennya bersama Mitsuba. Dia bukanlah tipe pria yang gemar membicarakan kehidupan seksnya dengan orang lain seperti Gintoki. Dia juga bukan tipe pria seperti Sougo yang kadang terlihat acuh tak acuh pada Kagura.

Hijikata menyimpan cerita hidupnya seorang diri. Sampai sekarang, hanya Mitsuba yang tahu apa yang ada di dalam kepalanya. Mungkin.

Kenapa aku jatuh hati pada Mitsuba?

Karena Mitsuba mau mengobati lukaku. Mitsuba mau memelukku meski sekujur tubuhku lebam dan pakaianku berlumuran darah. Dia mau menyentuh lukaku. Dia mau membersihkan darah dari wajahku.

Seperti apa hidupku tanpa Mitsuba? Kosong. Mitsuba memberiku napas. Mitsuba memberiku nyawa.

Aku senang melihatnya tersenyum. Lelahku hilang saat dia melakukannya, entah kenapa semudah itu. Ketika aku pulang kerja, Mitsuba akan menyambutku dan menanyakan apa yang aku kerjakan seharian. Dia tidak bosan untuk menanyakan hal itu. Tanpa merasa lelah, aku menceritakan semuanya, tak ada yang aku tutup-tutupi. Tentu saja aku tidak akan bilang padanya bahwa Sougo bolos lagi dan Kondou tiba-tiba mengecek laporan dari tiap divisi tanpa busana di ruang kerjanya.

Aku juga suka jika Mitsuba menguncir rambutnya. Dia terlihat seksi dan menggemaskan. Memandangi Mitsuba kerap membuatku bergidik. Apakah benar aku menikahinya? Apakah benar aku tidur di atas futon yang sama dengannya? Rasanya seperti mimpi.

Sekarang, kau bisa bayangkan seperti apa aku ketika melihat Mitsuba menangis? Hatiku hancur. Aku kecewa pada diriku sendiri meski alasannya menangis tak ada hubungannya denganku. Aku bertanggung jawab penuh dengan apa yang dilakukan Mitsuba. Apa pun itu. Aku bertanggung jawab untuk memeluk hatinya yang sebenarnya rapuh.

Hijikata mengelus dahi Mitsuba dan menciumnya cukup lama. Keduanya matanya masih terpaku pada wajah Mitsuba yang masih terlelap.

Mitsuba,

Jika aku boleh meminta, aku mohon untuk jangan pernah meninggalkanku. Aku ingin bersandar padamu dan meletakkan kepalaku di atas pangkuanmu seharian. Satu hari pun belum cukup untuk terus berada di sampingmu.

Mitsuba, jangan pergi.

Mitsuba membuka kedua matanya. Hijikata dan Mitsuba saling menatap sekarang.

"Toshi?" bisik Mitsuba. "Kenapa?"

Hijikata masih memandangi Mitsuba tanpa suara.

"Toshi?" Mitsuba memandangi Hijikata yang masih diam seribu bahasa.

Kedua mata Hijikata masih memandangi Mitsuba. "Jangan tinggalkan aku."

Hijikata memeluk Mitsuba dan bersandar di dadanya.

"Toshi?" Mitsuba membelai rambut Hijikata. "Ada apa?"

Hijikata terdiam sejenak. "Tidak ada apa-apa."

Hijikata menengadah dan menatap Mitsuba. "Kangen."

Dahi Mitsuba mengernyit. "Kenapa kamu?"

Hijikata tak menjawab. Dia terus menatap Mitsuba, seakan tak ada wanita lain di hatinya.

Aku terlalu cinta pada wanita ini. Aku jatuh terlalu jauh karena mencintainya. Aku menggilai wanita ini.

Wanita yang kudekap ini adalah kelebihanku. Dia adalah sahabat terbaikku, adikku, istriku. Aku sangat menghormatinya. Aku tak memilih Mitsuba, tapi keadaan yang menyatukan kami.

"Aku terlalu sayang padamu," Hijikata buka suara. "Itu saja."

Mitsuba tak menjawab. Dia hanya mengelus kepala Hijikata.

"Aku pikir, aku juga begitu," ucap Mitsuba tiba-tiba.

Hijikata mendengus. "Kelihatannya, aku dikutuk."

Dahi Mitsuba kembali mengernyit. "Apa maksudmu?"

Pelukan Hijikata pada Mitsuba semakin erat. "Di saat aku memelukmu seperti ini, aku masih merasa sangat merindukan kamu."

ListenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang