III. Okita Sougo

542 37 4
                                    

"Darin," Kagura menggoyang-goyangkan bahu Sougo. "Darin."

"Iya?" Sougo tersadar dari lamunannya.

Mereka berada di danau pinggir kota Edo sekarang. Tadi siang, Kamui pamit karena ada hal yang harus dikerjakannya. Kagura terihat kesal karena masih merindukan kakaknya, namun dia tidak bisa melarang Kamui untuk pergi.

"Jangan bengong," Kagura mengusap-usap punggung Sougo.

"Iya, iya," Sougo menepuk-nepuk kepala Kagura. "Maaf."

"Ada apa denganmu?" Kagura menatap Sougo dengan mata besarnya yang berwarna biru. "Kau tidak banyak bicara sejak tadi siang dan berkali-kali mengucapkan kata 'maaf'."

Sougo tidak menjawab. Dia hanya memandang permukaan air danau yang tenang. Sesekali, kedua matanya menatap langit senja yang warnanya merah merekah.

Isi kepala Sougo berkecamuk. Padahal, isinya hanyalah wajah Kagura. Tapi, entah kenapa rasanya dia tidak nyaman dengan ekspresi-ekspresi Kagura yang memenuhi kepalanya itu.

"Sougo!" Kagura berteriak di telinga Sougo.

Sougo hanya menatap Kagura. Wajah Kagura terlihat kesal.

"Ada apa denganmu!?" kata Kagura. "Kamui menyakitimu? Ada apa!?"

Sougo menggeleng. "Tidak."

Kagura berdiri. "Terserah! Aku mau pulang."

Sougo tidak menjawab. Dia hanya memandangi Kagura dan masih duduk di tempat.

"Aku lapar," Kagura mengambil tasnya. "Aku duluan."

Kagura berhenti bergerak. Sougo telah menggenggam tangannya. Tapi, dia tetap tidak bicara sepatah kata pun.

Kagura menarik tangannya dengan kasar. "Sudah, kita bertemu lagi besok."

Kagura berbalik dan berjalan. Baru dua langkah, Sougo sudah memanggil namanya.

"Kagura."

Kagura berbalik dan menatap Sougo. Mata Kagura tiba-tiba melotot.

Sougo menatapnya. Pandangan matanya kosong. Tapi, ada hal lain yang membuat mulut Kagura menganga. Sougo terlihat berlinangan air mata.

"Sougo...?" Kagura menatap Sougo. Suaranya cemas. "Ada apa?"

Sougo tidak menjawab. Air matanya mengalir menuruni pipinya. Dia hanya memandangi Kagura.

"Aku..." suara Sougo terdengar pelan. "Entah apa yang merasukiku."

Sougo kembali duduk. kedua matanya masih menatap Kagura. "Entah kenapa aku bahagia kau masih hidup."

Kagura mengernyit. Dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada Sougo.

"Aku tidak pernah tidak memikirkanmu. Setiap aku bangun dari tidurku, sebelum aku tidur, aku selalu memikirkanmu," kata Sougo.

"Aku merasa... Bersyukur karena kamu masih hidup. Kita sudah melewati puluhan peperangan yang berbahaya. Nyawa kita pernah di ambang batas. Aku pernah melihatmu meregang nyawa, dan kau pernah melihatku meregang nyawa. Kita pernah berada di sana, di medan perang, berusaha untuk tetap hidup agar kita bisa kembali bertemu."

"Jarak antara kehidupan dan kematian begitu tipis saat itu. Kita berdua rela berdarah untuk orang lain tanpa memikirkan diri kita sendiri. Kita sering berpisah di sana. Kau bersama Gintoki dan Shinpachi, sedangkan aku bersama Hijikata dan Kondou. Kau tahu perasaanku saat perang usai dan bertemu lagi denganmu?"

Air mata Sougo kembali menetes. "Aku lega, Kagura. Sangat lega. Kau masih bisa berjalan meski darah mengucur dari kepalamu. Aku lega kau masih bernapas, Kagura. Aku lega sekali."

"Kadang aku merasa, aku hanya bermimpi saat melihatmu berlari padaku dan meneriaki namaku usai perang. Tanpa sadar kedua tanganku terangkat menyambutmu. Ketika kau meraih kedua tanganku dan memelukku, aku tahu aku tidak bermimpi. Kamu masih hidup dan kembali padaku."

"Saat perang usai, aku dan kamu masih terus bersama. Kita berjalan beriringan, duduk bersama, tertawa bersama. Kau memperbolehkan aku untuk mencium bibirmu dan merasakan bahagiamu. Aku lega, Kagura. Aku senang."

"Kau memperbolehkan aku untuk masuk ke dalam hidupmu. Kau menjadikan aku bagian dari kehidupanmu. Kau mempertahankan aku, kau menggenggamku selama bertahun-tahun. Dan air mata ini, adalah bentuk bahagiaku."

Sougo merogoh kantung bagian dalam long coat Shinsengumi-nya. "Dan sampai hari ini, detik ini, aku masih tidak menyangka bahwa kita hidup untuk menemui satu sama lain."

Sougo mengulurkan tangannya. Telapak tangannya terbuka. Cincin pemberian Kamui berada di sana.

"Aku ingin bertemu denganmu setiap pagi, siang, dan malam. Aku ingin hidup di dalam pelukanmu. Aku ingin menjagamu, aku ingin hidup berdampingan denganmu. Aku ingin melihatmu menua bersamaku."

Mulut Kagura terbuka menatap cincin di atas telapak tangan Sougo.

"Menikahlah denganku, Kagura," Sougo tersenyum. "Dampingi aku, Kagura."

Kagura tidak menjawab. Air matanya menetes tanpa ia sadari.

"Kamui memberiku cincin ini. Dia bilang..."

"Milik ibuku," Kagura meneruskan omongan Sougo dan berjalan mendekat. "Cincin ini adalah cincin pernikahan ibuku."

Kagura mengambil cincin itu dan memakaikannya sendiri ke jari manisnya. "Terima kasih, Sougo. Ya, kita akan menua bersama."

Sougo menurunkan tangan, meraih tangan Kagura, dan memeluknya. Tak ada yang bicara, hanya dua wajah lega dan bahagia yang terlihat.

ListenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang