Bagian 9

2.2K 343 177
                                    

Karena komen positif dari kalian ngebuat aku semangat, jadi demi kalian aku rela ngebut ngetik sampe akhirnya hari ini aku quadruple up yeheeeet. Semoga kalian seneng ya. Dan jangan bosen buat kasih aku semangat terus heuheu

-----

Jungwoo sedang duduk di ruang tamu rumahnya, merenung. Ada yang mengganjal di pikirannya, terus mengganggu. Sesuatu yang diketahuinya sejak dulu tapi di lupakannya.

Sesuatu tentang Jihoon, dia merasa dia seharusnya mengetahui sesuatu tentang lelaki itu, tapi apa? Apa itu?

Bukankah kau merasa sudah pernah mengenal lelaki itu sebelumnya? Sebelum lelaki itu bekerja di perusahaan ini? Bukankah lelaki itu terasa begitu familiar?

Dengan gelisah Jungwoo berdiri, melangkah ke depan lemari putih yang terpajang rapi di ruang tamunya.

Sebenarnya dia punya firasat Jihoon berhubungan dengan masa lalunya. Masa lalu yang ingin dilupakannya, karena terlalu pedih untuk diingatnya.

Dengan gemetar Jungwoo membuka laci lemari putih itu, lalu mengeluarkan sebuah kotak putih yang tidak pernah disentuhnya sejak dua tahun lalu. Hati-hati di bukanya kotak itu dan di keluarkannya isinya, sebuah map tebal berisi berkas-berkas.

Jungwoo duduk, menarik napas panjang dan membuka map itu. Isinya adalah kliping, potongan berita-berita tentang tragedi dua tahun lalu. Tragedi kecelakaan beruntun di jalan tol yang menewaskan adiknya.

Saat itu, dalam kesedihannya, Jungwoo mengumpulkan semua berita yang memuat tentang tragedi itu. Menjadikannya satu di dalam satu map besar, memasukkannya ke kotak, dan menyimpannya. Menyimpannya bersama segenap kepedihan yang dia rasakan.

Sekarang dia membuka lagi kotak kepedihan itu, hatinya terasa nyeri, tangannya gemetar ketika membuka halaman demi halaman potongan artikel itu. Sampai kemudian dia menemukan apa yang dia cari.

Gambar sosok itu persis sama, meski terlihat muda, rapuh dan remuk redam, itu Jihoon yang sama, di gambar artikel itu, dia sedang menunduk mengenakan pakaian serba hitam di ruang tunggu sebuah rumah sakit.

'SELURUH KELUARGA TEWAS MENJADI KORBAN TABRAKAN BERUNTUN'

Begitu judul artikel itu.

Disitu dijelaskan bagaimana Jihoon kehilangan kedua orang tuanya dan ditinggalkan sebatang kara sendirian. Sedangkan tunangannya, seorang pengacara bernama Wong Yukhei atau yang lebih dikenal Lucas terbaring koma tak sadarkan diri.

Tunangan? Koma?

Jungwoo membaca artikel itu dengan teliti, lalu mengamati background rumah sakit pada gambar artikel Jihoon itu. Dia tahu rumah sakit ini karena pernah praktek lapangan disana beberapa tahun lalu.

Dengan segera dia menelepon rumah sakit itu, menggunakan berbagai koneksi profesi dokternya untuk memperoleh info dari dokter-dokter yang dikenalnya. Jungwoo mencari informasi sebanyak-banyaknya, dan pada akhirnya menemukan kebenaran.

Kebenaran yang pasti akan menyentuh hati siapapun yang mendengarnya. Bahkan matanya pun berkaca-kaca karena terharu.

Tiba-tiba Jungwoo teringat akan kata-kata Daniel ketika mereka makan siang bersama tadi, mengenai rencana lelaki itu untuk memberi Jihoon pelajaran...

Malam ini...

Oh Tuhan!

Dengan segera, seolah tersadarkan, Jungwoo segera meraih dompet dan kunci mobilnya. Dia harus mencegah Daniel melakukan apapun rencananya untuk memberi pelajaran pada Jihoon.

Daniel sudah salah paham, dan apapun yang dilakukan lelaki itu, dia pasti akan menyesal begitu mengetahui kenyataan yang sebenarnya.

Jungwoo harus mencegahnya sebelum terlambat!

▪▪▪

Tamu penting itu akhirnya pulang juga. Beres sudah, semua berjalan sesuai keinginannya.

Jinyoung mengacak rambutnya kesal. Kalau begitu kenapa dia tidak merasa lega?

Kau tahu kenapa? Bisik suara hatinya.

Ah ya, aku tahu kenapa.

Jinyoung mengakuinya.

Jihoon.

Cukup satu nama yang mewakili segalanya. Satu nama yang sedari tadi menghantui pikirannya. Dia masih marah pada Jihoon, marah besar. Tapi bahkan meskipun dia marah, dia tak ingin membuat Jihoon sedih dengan kemarahannya.

Sungguh ironis.

Jinyoung tersenyum sinis, menertawakan dirinya sendiri.

Tanpa terasa , lelaki itu, Jihoon telah menjadi harta yang begitu berharga untuknya. Tidak pernah dia secemas itu untuk siapapun, seperti yang dia lakukan untuk Jihoon kemarin malam.

Akui lah Jinyoung, kau menyayangi lelaki itu. Suara hatinya menekannya lagi.

Dan Jinyoung tidak membantahnya, dia sudah terlalu lelah membantahnya.

Lelaki itu dengan sifat polos, jujur dan kekanak-kanakannya telah menyentuh sisi hatinya yang tidak pernah diijinkan tersentuh oleh siapapun.

Ah ya, Jihoon pasti sudah menunggunya di ruangannya.

Tamu penting yang datang mendadak ini membuatnya terpaksa menghubungi Daniel agar menunggu di ruangannya kalau-kalau Jihoon datang.

Membayangkan Jihoon sedang menunggunya membuat Jinyoung tergesa melangkah menaiki lift, menuju lantai pribadinya.

Dengan tenang dia membuka pintu ruangannya. Pemandangan di depannya adalah pemandangan yang tidak disangkanya sekaligus pemandangan yang paling tidak di sukainya.

Daniel sedang berdiri menekan Jihoon ke tembok, memeluknya erat-erat dan menciumnya. Tubuh Jihoon yang mungil tenggelam dalam pelukannya.

Ketika menyadari pintu terbuka, Daniel mengangkat kepalanya, dan menatap Jinyoung yang terpaku di pintu, membeku seperti batu.

"Oh, hai Jinyoung." Daniel tersenyum, mengusap bibirnya yang sedikit bengkak karena berciuman dengan kasar. "Aku menawar lelakimu ini dengan harga beberapa juta, dan dia bersedia menemaniku selama beberapa jam, boleh kan?"

Jihoon yang masih berada dalam cengkeraman Daniel menjadi pucat pasi mendengar fitnah Daniel yang begitu kejam.

Jinyoung tidak akan percaya kata-kata Daniel kan? Jinyoung tidak akan percaya kan?

Tapi ekspresi Jinyoung begitu susah dibaca, lelaki itu seperti membeku.

"Dan kau tahu Jinyoung, kau memang benar- benar tidak rugi." Daniel menyambung, menyeringai menghina kepada Jihoon. "Ciumannya lumayan WOW."

"Tidak!" Jihoon akhirnya berhasil bersuara, mencoba membantah kata-kata Daniel. "Tidak! Ya Tuhan! Jinyoung!"

Suara Jihoon berubah menjadi jeritan ketika dengan secepat kilat tanpa di duga-duga, Jinyoung menerjang Daniel.

Menarik laki-laki itu dengan kasar dari Jihoon, lalu menyarangkan pukulan keras di rahang Daniel, kemudian di perutnya sampai Daniel terbungkuk-bungkuk menahan sakit.

Tetapi Jinyoung masih belum puas. Dia menyarangkan lagi pukulan telak bertubi-tubi ke semua bagian tubuh Daniel, tanpa memberi Daniel kesempatan melawan.

"Jinyoung! Berhenti! Kumohon! Kau bisa membunuhnya!" Jihoon berteriak panik ketika Jinyoung menghajar Daniel seperti kesetanan. Dan terus menghajarnya, terus tanpa henti tidak peduli Daniel sudah terkulai tanpa memberikan perlawanan. Aura membunuh memancar dari mata Jinyoung, menakutkan.

"Jinyoung!" Jihoon menjerit sekuat tenaga, berusaha mengembalikan akal sehat lelaki itu.

Kali ini berhasil, Jinyoung berhenti. Matanya nyalang, napasnya terengah-engah. Sedangkan kondisi Daniel sungguh mengenaskan, lelaki itu berbaring tak berdaya, wajahnya penuh darah, mungkin hidungnya patah. Dan sepertinya dia tidak sadarkan diri.

"Astaga." sebuah suara tercekat yang berasal dari pintu membuat Jihoon dan Jinyoung menoleh bersamaan. Jungwoo berdiri di sana, pucat pasi.

Seolah disadarkan, Jinyoung langsung berdiri, menghampiri Jihoon dengan bara kemarahan yang membuat Jihoon beringsut menjauh.

Lelaki itu tidak peduli, dengan kasar dia menarik lengan Jihoon, setengah menyeretnya keluar ruangan.

"Sakit Jinyoung." Jihoon merintih karena perlakuan kasar Jinyoung, tetapi lelaki itu tidak peduli, seolah tidak mendengar apa yang diserukan Jihoon.

Jungwoo berusaha menghentikan langkah Jinyoung. "Jinyoung, kau harus mendengar penjelasanku, semua ini..."

"Diam!" teriakan Jinyoung yang menggelegar membuat suara Jungwoo tertelan kembali. "Kau urus saja bajingan disana itu sebelum dia mati kehabisan darah. Dan begitu dia sadar, katakan padanya bahwa dia dipecat!"

Jinyoung menggeram marah sambil menyeret Jihoon menaiki lift. Meninggalkan Jungwoo yang masih berdiri terpaku, bingung.

A Romantic Story About Jihoon - b.jy + p.jhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang