Mistisnya Gunung Gede (1)

1.9K 22 4
                                    

Djakarta.

   Namaku Anntsuny Muliakencana. Hari ini, tepatnya hari Jumat tanggal 16 Juni 2017 pukul 18.00 WIB. Aku bersiap dari rumah menuju Stasiun Kota Tua. Dengan berbekal tas ransel biasa beserta isinya, aku memesan ojek online. Tak lupa sebelumnya sudah meminta izin Mamah dengan susah payah.

Aku dan Kakak ku, rencananya hari ini berangkat menuju daerah Gunung Gede. Kita berdua beserta beberapa teman Kakak ku ingin mendaki Gunung Gede. Dengan susah payah, hari sebelumnya aku meminta izin Mamah, sudah pasti awalnya tidak diizinkan, dengan alasan, "kalian beruda kan cewek, bahaya."

Tapi dengan segala rayuan dan segelintir kata-kata meyakinkan, akhirnya aku dan Kakak ku diizinkan. Hanya doa dan keikhlasan Mamah di setiap langkahku, yang aku inginkan.

Ini kali pertama aku mendaki gunung, benar-benar pemula. Hanya mengandalkan tekat dan kuasa Tuhan. Aku juga jarang olahraga, sebenarnya sedikit pesimis, tapi keinginanku harus realistis.

Aku mendaki gunung bersama enam teman kakak ku, kenal saja tidak, apalagi akrab. Aku tidak tahu nama mereka sama sekali, sudah dibilang hanya modal nekat dan kuasa sang pencipta.

Sesampainya di Stasiun Kota Tua, aku duduk menunggu di tangga masuk. Karena yang lain belum datang, kakak ku pun belum. Dia dan temannya berangkat dari kantor, karena ini hari jumat, mereka pulang kerja.

Singkat cerita, kami sudah kumpul bertujuh. Langsung menaiki kereta jurusan akhir Stasuin Bogor. Sebelumnya aku sempat berkenalan dengan mereka, jumlah kami tiga wanita dan lima pria.

Sesampainya di Stasiun Bogor, sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Karena ini sudah termasuk malam, akhirnya kami memesan ojek online mobil saja, yang awalnya kami ingin charter agar lebih murah.

Beberapa jam di perjalanan menuju base camp via Putri, akhirnya kami sampai tujuan. Langsung memasuki ruko untuk menginap semalaman. Kami tertidur pulas, mengingat besok adalah perjalanan jauh.

Jawa Barat

Sabtu 17 Juni 2017, sekitar pukul 06.00 WIB. Kami sudah diwajibkan bangun, karena jika terlalu siang takut gelap di jalan. Jangan harap ini termasuk pendakian santai, salah besar.

Setelah kira-kira tiga puluh menit kami bersiap-siap, akhirnya kami melangkah memulai perjalanan jauh ini.

Cuaca cukup dingin, sehingga nafas semakin sesak. Mengingat aku dan kakak ku adalah pemula, kami cukup terhambat dalam pernapasan. Sedikit-sedikit kami minta break, apakah ini sudah biasa dikalangan pemula?

Beberapa jam kami melakukan perjalanan, beberapa kali pula kami berhenti sejenak untuk istirahat. Dinginnya hawa pegunungan, dikalahkan oleh panasnya sinar mata hari dan panasnya tubuh sehingga keluar keringat. Kakak ku paling sering minta istirahat, sebenarnya muka dia sudah pucat, dan juga kaki dia sempat kram, namun kami tetap melanjutkan perjalanan.

Singkat cerita, kami sudah sampai di Surya Kencana. Mataku berbinar melihat pemandangan yang luar biasa indahnya. Sebuah padang luas dipenuhi oleh bunga edelweis dan kanan kiri dikelilingi oleh dua gunung. Terdapat satu jalan yang berada di tengah padang, seolah membelah gunung.

Tak ada hentinya aku mengucap syukur karena diberi kesempatan menginjakkan kaki di surga dunia ini. Kami kembali melangkah ke sebuah tanah kosong yang tidak ditumbuhi bunga edelweis, membangun dua tenda di sana untuk bermalam dan besok pagi melakukan summit. Oh iya, kami memutuskan untuk pintas jalur, pulang nanti kami via Cibodas.

Menginap di Surya Kencana, bukanlah hal yang salah. Ini sungguh pengalaman yang tak bisa dilupakan. Menginap di alam bebas, sungguh bebas, bahkan terkadang masih terdengar gonggongan anjing di salah satu gunung yang mengelilingi surga ini. Malam sudah menyapa kami, aku yang tidak kuat dingin memutuskan untuk tidur terlebih dahulu dengan koyok sudah menempel di hidung.

Rasanya tak bisa tidur dengan nyaman. Bukan, bukan karena tidur hanya beralas matras. Namun suasana yang tidak mendukung, dingin, gelap, sunyi, dan sering sekali suara angin menerpa tenda sehingga menimbulkan gesekan bising.

Aku mencoba menutup mata, sebisa mungkin ku paksa tidur, karena kakak ku dan temannya sudah tidur pulas. Ya, aku memilih tidur di pinggir, karena aku tidak kenal dekat dengan orang itu. Jadi, agak canggung.

Ketahuilah, tidur dipinggir itu menambah hawa dingin, karena ketika sleeping bag menyentuh tenda itu masih terasa dingin. Sejenak memejamkan mata, aku mendengar di luar tenda seperti ada orang berjalan.

Sreek. Positif thinking itu pendaki lain yang masih bangun dan berjalan sejenak menepis jenuh. Tapi, kok ini jalan mengelilingi tenda ku ya?

Sreek. Sreek. Suaranya semakin cepat, bak sedang berlari.

Loh ini orang ngapain malam-malam olahraga. Pikirku.

Aku langsung membuka mata, melihat samping kanan ku. Tak ada bayangan dari luar, tendaku hanya diterangi oleh senter ponsel yang di taruh di atas tenda.

Ketika aku membuka mata, suara itu hilang. Sungguh hilang, seperti ditelan bumi. Aku hanya bisa menelan silvana dengan susah payah. Dingin, tapi keringat di keningku mulai bermunculan.

Merasa sudah tidak ada keganjalan, aku mencoba mencari poisi enak untuk tidur. Aku mencoba menghadap ke kakak ku yang sudah terlelap. Memejamkan mata, namun tiba-tiba terdengar suara gamelan begitu pelan namun mengerikan. Aku langsung membuka mata kembali. Keringat di keningku semakin banjir, ingin membangunkan kakak, tapi dia sudah sangat terlelap, mana tega?

Aku terus membaca Doa Bapa Kami di dalam hati, berharap semua ini hanya halusinasi dan cepat pergi. Aku ingin tidur dengan nyenyak agar besok bisa summit degan keadaan fit.

Terus berdoa, tanpa sadar suara gamelan hilang dan aku terlelap dalam tidur.

🌒

Sorry part ini dan selanjutnya aku edit, karena menurutku tulisan kurang tertata rapi dan beberapa cerita kurang pasti.

Mendaki gunung bukanlah ajang untuk terlihat keren, namun berkelana mencari ketenangan diri.

Cerita Mistis #KisahNyataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang