Chapter 13: Ketua OSIS

308 10 0
                                    

Gak dibales, pikirku seraya melempar HP ke tempat tidur. Aku mencoba untuk mengirim SMS untuk Fathur tapi ternyata tak ia balas. Ya sebenarnya itu adalah kebiasaan lamanya. Pasti ia lebih mementingkan gamenya daripada pacarnya, huh. Pacar macam apa dia? Memangnya pacarnya itu game ya? Kalau begitu kenapa ia tidak berpacaran dengan game saja? Kenapa harus denganku? Ah, menyebalkan.

Aku kembali membuka HPku dan membuka aplikasi yang ada. Aku bermain Don’t Tap the White Tile sampai kedua jempolku lelah untuk menyentuh-nyentuh layar HP. Tiba-tiba HPku bergetar dan mengeluarkan suara bahwa ada SMS masuk. Yes, pikirku senang. Aku mengsign out game yang baru saja kumainkan dan segera membuka SMS masuk itu. Ternyata itu bukan SMS dari Fathur tapi dari Vira, yah.

Mia, kamu kenal Mas Dhika to?

 

Begitulah SMS dari Vira. Aku langsung membalas SMSnya. Beberapa menit kemudian, ia pun membalas balasanku.

            Dia orangnya kayak gimana ig?

 

Eh? Mas Dhika? Satu kata yang terlintas di benakku ketika ada yang menanyakan tentang Mas Dhika adalah; cakep. Yes, dia cakep. Eh tunggu dulu. Kenapa ia mengatakan hal semacam itu? Aku tak mengerti. Mungkin sebaiknya aku harus berakting sebelum aku memunculkan Mia yang sebenarnya. Aku membalasnya hanya dengan satu kalimat; ‘emang kenapa?’ Kemudian ia langsung membalas pertanyaanku tadi. Dan jawabannya membuatku sangat tertegun.

Aku berlari secepat mungkin di lorong kelas untuk mencari seseorang yang mungkin bisa kuajak berbicara. Ini sudah jam istirahat dan aku harus segera menemui orang itu sebelum orang itu pergi ke kantin. Biasanya ia memang selalu berkumpul dengan teman-teman sesama jenisnya. Aku paling tak suka jika harus berurusan dengan teman-temannya.

“Yoshiiii!” seruku yang sekarang telah berada di depan pintu X IPA 2, kelas Yoshii.

Semua anak yang sedang duduk di kelas itu langsung menatapku bingung dan beberapa menit kemudian mereka langsung tertawa terbahak-bahak karena melihatku yang sekarang sedang memasang tampang bodoh. Tapi aku langsung mencari tempat duduk Yoshii. Nah, itu dia. Ia duduk di pojok kanan belakang kelas.

“Yoshiii, denger gak sih woy!” seruku keras.

Ia langsung menoleh ke arahku dan memasang tampang kesal.

Baka,” gumamnya.

Walaupun ia hanya menggumam, tapi aku masih bisa mendengar suaranya. Aku juga menunjukkan tampang kesal untuknya.

“Ini masih pelajaran!!!” teriaknya.

Eh? Aku langsung melihat seorang guru yang sedang berdiri di depan kelas. Ia tampak memperhatikanku dari ujung rambut ke ujung kaki. Aku langsung menunjukkan deretan gigiku seraya mengucapkan ‘maaf, Bu’ kemudian langsung meninggalkan kelas itu.

Aku berjalan lesu melintasi lorong kelas. Ini sudah bel istirahat tapi kelas Yoshii masih juga pelajaran. Padahal kulihat beberapa kelas sudah membuka pintu kelasnya dan banyak murid yang bermunculan dari pintu tersebut. Krukkk… ada suara yang keluar dari perutku. Ah, laper, pikirku. Lebih baik aku ke koperasi untuk membeli sosis solo karena itu makanan favoritku di istirahat pertama, sedangkan di istirahat kedua aku lebih memilih gorengan untuk dimakan.

Sesampainya di koperasi, aku melihat-lihat etalase. Koperasi sangat ramai jadi aku perlu berdesak-desakan dengan murid lain. Tiba-tiba aku melihat cupcake dan terlihat menarik di depan mataku. Aku langsung mengambil dua cupcake dengan rasa yang sama, yaitu coklat. Selain pecinta lelaki tampan, aku juga pecinta coklat. Tanpa basa-basi, aku langsung memberikan kedua makanan tersebut pada penjaga etalase untuk dibungkuskan. Setelah dibungkus, aku berjalan menuju kasir. Harga kedua cupcake tersebut Rp 4000,00. Aku merogoh kantong rokku dan hanya menemukan selembar uang Rp 1000,00 dan Rp 2000,00 . Hiks, uangku kurang. Mungkin aku tidak jadi membeli cupcake ini. Tiba-tiba saja aku teringat beberapa bulan lalu, ketika Fathur membayariku sosis solo. Ah, seandainya ada Fathur di sini. Mungkin ia tak mau membayariku lagi, tapi berada di sebelahnya itu sudah bisa membuatku nyaman. Aku merindukan anak itu. Walaupun kelasku dan kelasnya bersebalahan, tapi aku jarang bertemu dengannya. Seandainya aku bisa bertemu dengannya di sini dan seandainya saja ia masih mau berbicara denganku.

Only YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang