Seorang pria mungil tampak terpejam dengan damai. Wajahnya pucat dan tangannya tertancapi infus. Di samping ranjangnya, berdiri seorang dokter yang menatapnya miris.
"Ada apa Uisa? Kenapa terus menatapnya?" seorang perawat menepuk pelan pundak dokter itu.
"Gwenchana, saya hanya merasa kasihan pada anak muda ini. Sejak ia terbaring disini, tak ada satupun keluarganya yang menjenguk. Bahkan pihak rumah sakit tidak bisa menghubungi keluarganya!"
"Kau benar Uisa, namja ini sangat malang. Bahkan dengan kebaikan hatinya, ia tetap tidak mendapatkan kasih sayang."
"Sudahlah. Lebih baik kita biarkan namja ini beristirahat!" dokter dan perawat itu berniat pergi, namun sebelumnya dokter itu membenarkan selimut pasiennya terlebih dahulu. Hanya saja niatnya terhenti saat melihat jari-jari namja itu bergerak perlahan. Disusul kelopak matanya yang mulai terbuka.
Namja itu mengernyit dan menutup matanya kembali saat merasa cahaya diruangan itu terlalu menyilaukan matanya. Mengerti situasi, sang dokter pun segera menutup gorden jendela dan menghampiri namja itu untuk memeriksanya.
"Bagaimana perasaanmu Nak? Ada yang sakit?" tanya dokter itu sambil mengusap rambutnya lembut. Entah kenapa ia merasa telah dekat dengan namja ini. Dia bahkan memperlakukannya berbeda dari pasien-pasien lainnya.
"P-perutku s-sakit," ucapnya terbata.
"Bersabarlah ne, rasa sakitnya pasti akan sembuh. Cha, istirahatlah! Nanti akan ada perawat yang mengantarkan makan siang dan obatmu. Oh ya siapa namamu nak?!" dokter bernama lengkap Kim Yunsu itu masih saja mengelus rambut namja itu dan membuatnya merasa nyaman.
"L-Luhan."
.
.
.
.Di atas ranjang rumah sakit yang sama seorang Yuri terduduk. Ia baru saja sadar setelah operasi dua hari yang lalu.
"Bagaimana keadaanmu Yuri?!" tanya eommanya.
"Lebih baik Eomma," jawab Yuri sekenanya, ia bahkan tidak melihat eommanya.
"Eomma, dimana Luhan?!" seakan ingat akan satu hal, Yuri segera menolehkan kepala pada eommanya.
"Eoh! Eomma tidak tahu!" eommanya mengendikkan bahu acuh. Dia benar-benar terlihat tidak pesuli pada Luhan.
"Eomma.. Bagaimana jika memang Luhan yang mendonorkan ginjalnya padaku?" tanya Yuri khawatir.
"Itu tidak mungkin."
"Bagaimana jika iya? Aku hanya berbicara tentang kemungkinannya. Eomma dengar sendiri kalau inisial orang itu adalah L. Lalu Luhan juga sudah tidak terlihat sejak satu minggu yang lalu. Jika itu benar Luhan, apa yang akan Eomma lakukan? Apa Eomma akan berbalik menyayanginya?" jelas Yuri membuat sang eomma tertegun. Sejujurmya ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan jika itu benar. Hanya saja, dalam hati kecilnya ia pasti akan sangat berterimakasih pada Luhan. Karena telah membuat Yuri sembuh. Tapi rasanya ia belum siap untuk menyayangi anak itu.
"Berhenti membahas ini Yuri, lebih baik kau istirahat!" Yuri memutar bola matanya malas mendengar ucapan eommanya yang lagi-lagi mengalihkan pembicaraan.
"Eomma, berhenti menghindar. Cepat atau lambat, semuanya pasti terbingkar. Kita pasti akan tahu siapa yang memberikan ginjalnya padaku. Dan saat itu tiba, aku tidak ingin kau menyesal Eomma!" setelah mengatakannya Yuri kembali berbaring dan menarik selimutnya sampai dada, kemudian memejamkan matanya.
"Arrayo," lirih Eommanya pelan sebelum ia melangkahkan kakinya keluar dari kamar rawat itu.
Ia terus berjalan hingga matanya menatap lekat satu pintu kamar transparan di depannya. Entah kenapa ia sepertinya tidak asing dengan orang yang tengah berbaring disana. Seorang namja berperawakan mungil berambut cokelat madu, bukankah itu..
"Luhan?" serunya spontan.
"Apa yang dia lakukan disana? Omo! Apa Luhan dirawat? Apa benar dia yang mendonor?" ia melangkah mendekat pada Luhan dan membuka pintunya dengan tidak sabaran. Lalu dia menutup mulitnya tak percaya melihat Luhan benar-benar berbaring di atas ranjang rumah sakit dengan infus di punggung tangannya.
Dengan tangan yang bergetar, dia mencoba menyingkap selimut Luhan termasuk baju pasiennya. Hanya satu tujuannya, ia ingin melihat perut Luhan untuk memastikan seauatu.
Hap
Matanya melotot tak percaya ketika tepat didepan matanya ia melihat perut Luhan yang terbalut perban dengan lingkaran merah ditengahnya.
"J-jadi, memang Luhan yang mendonor? Ya ampun aku harus bagaimana?" serunya keras sampai membuat Luhan menggeliat tak nyaman dalam tidurnya.
Luhan mengerjapkan matanya terbangun hingga ia terkejut melihat eomma ada dihadapannya.
"E-eomma," lirih Luhan.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Regret
FanfictionJangan salahkan aku jika aku tak memperdulikanmu, karena aku sudah terbiasa tidak dipedulikan. Jika kau merasa sakit hanya karena luka kecil, aku sudah terbiasa dengan rasa sakit di hidupku. Jangan menangis karena hal kecil, karena aku tidak ingin k...