#aellia14
Part 14 - MENJEBAK HARIMAU
Karya: #KakashiDSensei
Pasar rakyat di desa Klantiwu cukup ramai. Banyak para penjual dan pembeli berlalu lalang. Kebanyakan barang yang dijual adalah hasil pertanian dan peternakan.
Sang gadis berbaju hitam berjalan dengan santai. Diambilnya sebuah peta dari lipatan bajunya. Di desa Klantiwu ia bisa bertemu dengan penduduk yang pernah ditolong oleh gurunya. Seorang bapak separuh baya yang rumahnya termasuk golongan cukup berada di desa tersebut.
“Permisi”, kata sang gadis kepada seorang ibu penjual sayur. “Boleh nanya bu, rumah bapak Randunata di sebelah mana ya? Kenal gak?”, tanya sang gadis.
Sang ibu penjual menatap sebentar ke arah sang gadis. "Sepertinya gadis ini orang baru", gumam sang ibu penjual sayur. “Oh pak Randu..ya.. adik jalan aja lurus, nanti setelah bertemu kedai makan di ujung jalan, belok kiri. Jalan aja terus nanti bertemu rumah yang agak besar dan luas halamannya, itulah rumah bapak Randunata”, jawab sang ibu penjual sayur.
Setelah mengucapkan terima kasih, sang gadis pun berjalan mengikuti arah yang dimaksud. Tak berapa lama ia telah sampai di sebuah rumah persis seperti yang dikatakan si ibu penjual sayur. Ia pun mengutarakan maksudnya kepada pelayan yang sedang membersihkan daun-daun di halaman. Oleh pelayan tersebut ia diantarkan masuk menuju ruang tamu.
Di sana terlihat seorang lelaki separuh baya sedang bercakap-cakap dengan seorang wanita, sepertinya itu istrinya. Pelayan itu menyampaikan kepada lelaki tersebut. Sang bapak segera berdiri dan berkata, ”Mari nduk… mari masuk. Sini duduk di sini.”, kata bapak tersebut ramah. “Bikinkan minum, bu,” kata pak Randu kepada istrinya. Sang istri segera beranjak ke dapur untuk membuatkan minum.
“Benarkah kamu murid eyang Sabda Langit?”, tanya sang lelaki. Kumisnya yang lebat ikut bergoyang-goyang saat ia bertanya.
“Iya, benar.”, jawab sang gadis. Ia pun menceritakan semua kisah yang dialaminya kepada lelaki separuh baya tersebut.Setelah manggut-manggut beberapa kali, lelaki itu pun berkata, ”Nduk, bapak ini pernah berjanji pada gurumu, apapun yang gurumu inginkan akan kukabulkan. Aku berhutang nyawa dan budi pada gurumu. Dan sekarang gurumu ingin aku membantumu. Apa yang kamu butuhkan katakan saja.”
Sang gadis tersenyum sedikit. Dengan suara yang lembut dan kalimat yang sopan ia menyampaikan bahwa dirinya membutuhkan kuda untuk pergi menemui Adipati Ramandanu di Kadipaten Singogalih. Tanpa berpikir dua kali pak Randu menyuruh pelayannya untuk mengambil seekor kuda yang paling bagus di kandang dan meminta untuk membawanya ke halaman. Kepada istrinya ia berbisik sesuatu. Bu Randu segera masuk ke dalam kamar. Tak lama bu Randu membawakan sebungkus pakaian dan sekantung uang.
“Ini pakaian buatmu, nduk.”, kata pak Randu. “Tak elok kamu bertemu Adipati dengan pakaian seperti itu. Dan ini sekantung uang untuk bekal di perjalanan. Kudamu ada di depan. Sampaikan salamku dan istriku kepada gurumu Eyang Sabda Langit.
Setelah mengucapkan terima kasih, sang gadis memohon pamit. Diantarkan oleh pak Randu dan istrinya, ia pun menggiring kuda tersebut keluar halaman hingga ke jalan. Barulah ia menaiki kuda tersebut.
"Hia..hia...!!", teriak sang gadis memacu kuda yang berlari bagai terbang tersebut. Tak lama kemudian ia telah keluar dari desa Klantiwu menuju Kadipaten Singogalih.
Perjalanan dari desa Klantiwu menuju Kadipaten Singogalih memerlukan kira-kira seperempat hari berkuda. Sang gadis memperkirakan akan sampai sebelum matahari terbenam.
###
Nun jauh di sana, di dalam sebuah dangau di dalam hutan, terlihat tiga orang lelaki sedang duduk bersila. Dua orang lelaki separuh baya kakak dan adik serta seorang kakek berjubah hitam tampak sedang bercakap-cakap.
“Bagaimana kalau gadis itu sampai bertemu dengan Adipati Ramandanu?”, tanya Rondo kepada Taryo kakaknya.
“Tenang.. aku sudah mengirim merpati kepada kepala pasukan jaga di sana. Dia itu berada di pihak kita. Adiknya adalah anak buahku. Begitu gadis itu masuk ke halaman, ia akan langsung dihabisi.”, kata sang kakak dengan wajah bengis. Terlihat senyum simpul di bibirnya yang tebal, membayangkan kematian gadis itu.
“Syukurlah kalo begitu,” jawab sang adik. Namun dalam hatinya masih merasa sayang kalau gadis itu langsung dibunuh. Terbayang olehnya untuk mencicipi dahulu tubuh sang gadis berbaju hitam itu sebelum dihabisi. Ia masih merasa kesal karena sedikit lagi ia sudah bisa merasakan hangatnya tubuh elok sang gadis namun gagal gara-gara kakaknya datang.
“Aku tak bisa lama-lama di sini.”, kata Taryo.” Aku harus segera kembali ke desa Kedungniras, anak buahku pasti sudah lama menunggu.”
Setelah mengucapkan pamit kepada sang Kakek, ia pun segera berlalu.
###
Langit sudah memerah saga ketika sang gadis sampai di Kadipaten Singogalih. Segera ia mencari tempat yang sepi lalu mengganti pakaiannya dengan pakaian yang diberikan oleh pak Randu.
"Hmm.. Pas sekali pakaian ini di tubuhku. Pandai betul bu Randu memilihnya untukku.", gumam sang gadis sambil mengamat-amati tubuhnya. Tubuhnya kini berubah warna menjadi putih dengan sulaman emas, menambah cantik dan jelita rupa wajah dan bentuk tubuhnya.
Setelah menambatkan kudanya ia pun menuju istana Adipati Ramandanu. Terlihat sebuah rumah yang besar dikelilingi tembok pagar yang kokoh. Di depannya terlihat dua orang prajurit berjaga di pintu gerbang.
Sang gadis mendekati kedua prajurit Kadipaten dan mengutarakan maksudnya ingin menemui Sang Adipati. Anehnya, tanpa bertanya apa keperluannya, kedua prajurit langsung mempersilahkan masuk. Sambil bertanya-tanya dalam hati sang gadis pun melangkahkan kaki melewati gerbang. Ia tiba di halaman pendapa yang sangat megah, terbuat dari kayu yang mahal dan penuh ukiran yang indah. Terlihat empat prajurit berjaga di depan.