Alecia

50 11 7
                                    

"Tak ada lagi luka dalam hatiku, ya, tak ada lagi. Aku sudah menghapusnya dari hati dan mataku. Tak ada lagi tangan yang menjamahku kasar, membantingku di lantai yang dingin, menikmatiku dengan deru napasnya." Alecia berkata lirih.

Tubuhnya terduduk dengan lutut mendarat keras, lemas. Pisau yang ia pegang berlumuran noda merah, kental dan terjun bebes di lantai yang tak bisa dibuat untuk bercermin.

Rengkuhan tangan lain menopang tubuhnya untuk tak terjerembab. Mampu menenangkannya? Tidak. Air mata Alecia menetes namun sepenuhnya bukan air mata kesedihan, tapi kebebasan atas dirinya yang tergadai.

"Semuanya berakhir, Alecia, dia sudah tiada. Tidak ada lagi orang yang akan menyentuhmu kasar, ada aku yang akan menjagamu." Pria berambut pirang itu berbisik di telinga Alecia.

Bergetar, itu yang terjadi pada Alecia. Tangis yang selama ini ia tahan, pecah, bersamaan dengan gemuruh luruhnya segala lara raga dan rasanya.

"Dia begitu jahat padaku, Ashes, mengapa dia demikian kejam padaku, aku layaknya sebuah barang yang hanya bisa iasentuh, hanya dia seorang." Alecia mengenang semua perlakuan Mikalo padanya.

Ashes melepas rengkuhannya, mengalihkan mata Alecia dari sosok Mikalo yang terlentang di atas lantai, polos, dengan genangan warna merah.

"Lihat aku, tatap aku, aku bukanlah pria hebat, hanya punya segenggam cinta, dan sedikit harta, tapi aku janjikan nyawaku melindungimu, Alecia." Ashes berkata sepenuh hati pada gadis berambut cokelat keemasan itu.

Tangis keduanya pecah, jemarinya melepaskan eratan pisau kesayangan Mikalo. Pisau itu hadiah untuknya karena bisa mengalahkan suami Lena, yang keduanya bernasib sama hanya karena tak mau dimiliki Mikalo.

Ashes menggendong tubuh Alecia, menjauh dari tubuh Mikalo yang tak bergerak dengan duabelas tusukan yang Alecia tancapkan.

Rumah Ashes hanya bangunan sederhana dua lantai kayu, hangat dan ada perapian terbuat dari batu bata merah yang ditata rapi. Ada sepasang sofa empuk dan sebuah meja bundar di dekatnya.

Ashes masih membawa Alecia dengan kedua lengannya, tubuh Ashes seolah tak merasakan lelah sedikit pun membawanya jauh ke kediamannya. Ujung kakinya mendorong pintu kayu, teeayun ke dalam dan aroma lavendee tercium, setengah layu di dalam vas bening di atas meja.

"Kenapa kau membawaku ke mari?" tanya Alecia.

"Alasanku sudah jelas, apa aku harus mengumumkan pada dunia bahwa kau masihlah isteriku?" tanya Ashes teesenyum.

Alecia tersenyum lirih, ia tak tahu harus berkata apa pada Ashes soal dirinya yang kini. Setelah apa yang dilakukan Mikalo padanya selama enam bulan dua puluh hari. Ujung tangan Ashes ditahan Alecia saat beranjak pergi, pria yang masih percaya jika Alecia masih hidup itu berbalik.

"Akan kuambilkan kau air hangat, ini sudah malam, kau harus istirahat dalam keadaan bersih, tapi tak mungkin untuk mandi bukan?" Ashes berlalu.  Alecia memutuskan untuk menutup matanya sejenak.

Ashes tak kunjung kembali, setelah sekian lama menunggu, bunyi percikan api sampai di telinga Alecia. Asap perapian membumbung tinggi, semakin banyak dan berlarilah Alecia keluar dengan tenaga yang tersisa.

Di bawah keadaan berbeda sekali dengan apa yang dilihatnya beberapa menit lalu, ruangan rumah Ashes terbakar. Matanya melihat sosok Ashes terkapar dengan kepala berpisah dari raganga. Sementara Mikalo berdiri dengan senyum sinisnya mengulurkan tangannya, seketika Alecia berlari masuk ke dalam. Telat, rambutnya tergapai tangan mikalo.

500 words

Lihat reviewnya, cekidot :

👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇👇

Ceritanya bagus, aku suka. Cuman kesalahannya ada pada typo, seperti : teesenyum, teeayun. Selebihnya udah bagus, ga bikin sakit mata.

ArlenLangit

Task Part 1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang