Part 4

91 13 0
                                    

"Habiskan waktumu sekarang dengannya sebelum kau mati,"

Liona terdiam menatap ke luar jendela mobil yang melaju kencang. Di sebelahnya, Julian tampak sesekali menatap Liona, seolah mencoba membaca apa yang ada dipikirannya hingga membuat gadis itu terdiam begitu tenang. Namun ada pula dengan rasa bersalah yang mengganjal di hati Julian.

"Apa yang sedang kau pikirkan? Kenapa kau diam saja?"

Tampaknya gadis itu memang sedang memikirkan hal-hal yang dikatakan nenek Julian sebelumnya. Ia tahu gadis itu mudah terpengaruh, apalagi dengan hal-hal seperti itu.

"Apa nenekmu itu seorang peramal?" seketika ungkapan itu membuat Julian segera menoleh ke arah sumber suara. Ia terkekeh, tersenyum pahit, mendapati pertanyaan tak masuk akal.

"Apa yang kau bicarakan? Nenekku hanya orang biasa." Ia berusaha setenang mungkin membuat gadis itu percaya padanya, bukan pada neneknya. "Apa kau percaya yang dibicarakannya?"

Tidak ada jawaban. Yang diajak bicara masih tak mengalihkan pandangannya.

"Seperti dukun saja meramal perpisahan kita. Jangan hiraukan dia. Nenekku memang suka berbicara aneh seperti itu kepada orang baru."

"Aku pikir nenekmu bisa melihat masa depan. Apa salahnya kalau kita percaya?" untuk kesekian kalinya Julian menoleh ke arah gadis itu, lalu kembali menghadap ke depan.

"Cihh," ia menanggapinya singkat. Heran, karena Liona begitu percaya dengan ucapan neneknya.

"Bisa saja suatu saat kejadian buruk menimpaku, sehingga aku meninggalkanmu. Seperti... kematian." Sontak ucapan itu membuat Julian kaget dan mendadak mengerem mobilnya.

"Kau ini bicara apa? Huh? Sudah ku bilang, abaikan dia. Nenekku memang aneh!" Julian tersulut. "Dia bukan peramal, bukan dukun! Tidak akan ada kematian!" lelaki itu memandangi Liona. Ia menggenggam lengan bahu gadis itu. Menekan kuat tubuhnya dan sedikit memberinya ketegasan pada Liona.

"Lihat dirimu! Wajahmu cerah, tubuhmu ideal, tidaklah kurus dan kau sehat. Kau juga sangat mencintaiku, tidak mungkin kau meninggalkanku begitu saja. Kau juga sudah menyelesaikan kuliahmu, jadi kau tidak perlu pergi jauh keluar negeri. Sudah jelas tak ada alasan kau meninggalkanku!" ucap Julian dengan nada tinggi.

"Itukah dirimu yang sebenarnya?" Baru kali ini Liona melihat Julian begitu emosional. "Jika kau tidak menerima pendapatku, katakan saja dengan baik. Aku tidak tahu kau akan semarah ini," lanjutnya. Wajah polos yang cantik itu berubah menjadi masam. Manik-manik matanya mulai basah.

"Mungkin ini yang nenek maksud, ada alasan aku meninggalkanmu setelah kau berkata seperti itu." Ia merenungkan kembali bagaimana Julian bersikap kasar barusan.

"Liona, aku hanya... hanya ingin kau tidak mencemaskan hal ini." Julian menjelaskan maksud tindakannya barusan. Ia mengakui tindakannya yang salah. Tidak bermaksud memarahi Liona, hanya berusaha meyakinkan gadis itu agar tetap berpikiran positif. Namun percuma.

"Aku berhenti di sini saja." Liona keluar dari mobil. Berjalan mengabaikan teriakan Julian dengan memasang earphone di telinganya.

"Liona!!!"

Liona meraih arloji antik itu dari tasnya dan mengingat perkataan nenek Julian. Sambil berjalan menyeberang menjauhi mobil Julian yang terhenti di tepian jalan.

Sedangkan di sisi lain, Julian menyesali kemarahannya. Ia menatap Liona menyeberangi jalan yang semula sepi. Entah bagaimana, ada setitik rasa kecemasan pada dirinya dan gadis itu. Tetapi seberapa kuat ia membuang perasaan itu semakin ia tidak bisa menampik kenyataan bahwa...

Sedetik setelah itu, sorot lampu mobil terlihat dari kejauhan, dengan laju yang semakin cepat. Julian berusaha berteriak dan mengejar Liona sekuat tenaga.

BRAAKKK !!!!!

Mobil hitam itu begitu cepat menyambar Liona dan menghempaskan tubuh mungil itu di jalanan. Dari tangan gadis itu terhempas arloji antik yang baru saja digenggamnya.

"Inikah kenyataan pahit yang nenek katakan? Tentang sebuah perpisahan..."

-o0o-

Give me vote and comment, thankiss 💕

RETURN (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang