Part 10

103 16 0
                                    

"Kau percaya deja vu? Aku mengalaminya. Tiga belas Juni, aku melihat kematianmu saat itu."

Sudah dua hari Liona tidak bertemu dengan Julian, tepatnya sejak pertengkaran itu. Tidak pernah disangkanya, semua berakhir seperti ini. Awalnya ia merasa sangat nyaman dengan pria itu. Dia sangat manis, dan bagaimanapun sikapnya selalu membuat Liona hampir luluh. Tetapi pria itu malah melukai hatinya.

"Deja vu ? Cih, karangan macam apa itu?" ujarnya heran.

Ia beralih menatap poster di hadapannya. Kompetisi fotografi. "Aku harus pergi, demi kompetisi ini." Ia memantapkan hatinya.

Sejujurnya, ia sempat ragu. Ucapan Julian begitu meyakinkan. Bahkan dia memohonnya untuk tidak pergi. Deja vu, saat bersama lelaki itu, ada beberapa hal yang ganjal memang. Ketika pertama kali Julian memeluknya tiba-tiba, dan pertemuan keduanya seakan itu hanya sebuah settingan. Juga payung yang dibawanya saat menemaninya hunting, seolah dia tahu hari itu akan hujan.

-o0o-

Di sisi lain, sudah beberapa kali Julian melirik jam tangannya. Ia masih ingat betul peristiwa malam itu. Saat ini ia tengah berdiri di tepi jalan, berjaga kalau saja Liona melewati jalan itu.

Udara malam itu begitu dingin, ia merapatkan jaket yang biasa dikenakan. Pandangannya berputar-putar mencari sosok itu. Dan kebetulan, sosok yang dicarinya tak lama kemudian muncul dari kejauhan. Gadis bertubuh mungil itu terlihat hendak menyeberang.

Awalnya, Liona melihat jalanan yang sepi. Ia yakin jalan sesunyi ini tidak mungkin terjadi kecelakaan. Dengan santai ia berjalan sembari mendengarkan musik dengan earphone di telinganya, sedangkan tangannya sibuk dengan ponsel.

"Liona. Liona!" Julian berlari mendekati Liona. Sekuat mungkin ia berlari, melewati jalanan yang seakan seluas lautan, ia tak kunjung sampai pada tujuan.

Dari kejauhan, sebuah mobil berjalan melenggak-lenggok mendekati Liona. Namun gadis itu masih tak menyadari ada kendaraan yang melaju cepat ke arahnya. Pandangannya fokus pada ponsel, dan telinganya pun tak mendengar selain musik yang diplay keras.

"Liona! Berhentilah! Liona!" teriak Julian. Tapi Liona sama sekali tak menggubris. "Berhentilah!"

Julian masih berteriak dan terus berlari hingga akhirnya berhasil mendorong gadis itu ke pinggir jalan.

Liona terlempar ketepian, ia terkejut sesuatu mendorong tubuhnya dan menyambar seseorang di dekatnya. Syukurlah dirinya tidak apa-apa. Namun sedetik kemudian, ia memutar kepala dan menghambur ke tengah jalanan setelah mendengar suara hentakan keras yang menyambar sosok yang sempat mendorongnya.

BRAKK !!!

"Julian!!!" teriak Liona shock melihat tubuh yang gagah itu terlempar jauh dari tempatnya, saking kerasnya.

Mobil itu berhenti. Seorang pengendara mabuk keluar dari tempatnya dan segera kabur. Namun bukan itu yang menjadi perhatian Liona. Bukan pengendara gila yang berhasil membuat Julian terluka.

Liona tak menggubrisnya, di pikirannya hanya bagaimana agar Julian tertolong. Ia panik berteriak meminta tolong tapi tak satupun orang mendengarnya. Tak ada seorang pun di sana. Ia terus berteriak, terisak dan terguncang. Lalu meraih tubuh yang terbanting mobil dan aspal itu ke pangkuannya.

"Juliiaaan..." ia menyebut nama pria yang bersimbah darah itu. Tangannya ragu menyentuh cairan merah pekat di puncak kepala Julian. Ia tak percaya cairan itu darah, benar-benar darah. Badannya juga terluka karena sempat terseret mobil. Begitupun dari mulutnya yang keluar darah cukup banyak.

Tapi Julian masih tersadar. Ia meraih tangan gadis itu menempatkannya tepat di dadanya yang bidang. Liona merasakan tubuh itu kembang kempis, seakan menuntut untuk tetap bernapas dan menahan sakit. Dan gadis itu terus menangis, hingga bahunya terguncang. Ia membelai wajah manis Julian yang sebagian berlumuran darah.

Tangan Julian bergerak mengambil sesuatu dari sakunya. Jam saku antik pemberian Liona beberapa hari lalu. Ia mengembalikannya pada Liona. Tangis gadis itu mereda meski masih terisak. Ia menerima benda itu dari Julian.

Sedetik kemudian sesuatu muncul di pikiran Liona. Selintas bayangan tentang seorang nenek yang mengatakan kematiannya, dan peristiwa kecelakaan seorang gadis yang bukan lain adalah dirinya. Otaknya memutar kembali ingatan tentang perkataan Julian dan deja vu. Itu semua memenuhi memorinya.

Ia tersentak kemudian. Napasnya tak beraturan, pikirannya kacau. Bayang-bayang itu tiba-tiba muncul di pikirannya hanya karena menyentuh benda itu. Lalu ia beralih menatap Julian. Lelaki itu benar. Sesuatu telah terulang, tetapi Liona hampir tak mempercayainya. Ia menyesal, seperti penyesalan Julian kala itu.

"Maafkan aku, Ju. Aku tidak mendengarkan perkataanmu. Aku menyesal," ucapnya masih diiringi rintihan.

"Jangan menangis, kumohon!" Julian masih menanggapi. "Aku tidak ingin menjadi lemah karena membiarkanmu menangis." Lelaki itu bersikeras menenangkan Liona. Ia tidak ingin melihatnya bersedih.

"Kau terluka, Ju. Tapi masih bisa bercanda!" tukasnya masih terisak. Ia memandangi lekat pria malang itu. Cukup Julian terluka, Liona sadar harus segera bergegas membawanya ke rumah sakit.

"Bangun, Ju. Tempat ini dingin, aku akan menolongmu." Liona hampir bangkit. Namun pria itu menahannya.

"Tidak apa-apa. Asalkan kau tetap di sini, sebentar saja." ia membuat airmata Liona semakin deras.

"Bagaimana kau bisa mengatakan ini baik-baik saja?!"

"Liona, aku pernah menyesal sebelum kau terluk," sejenak ia berhenti memberi jeda. Menarik napas panjang dan mulai kembali. "Kita bertengkar, hanya karena aku tak mempercayainya."

Benar. Kala itu Julian yang tak mempercayainya dan akhirnya ia juga yang menelan penyesalan. Sekarang, setelah semua terulang, Liona yang menyesal. Menyesal karena tak mempercayainya.

"Ju.." Kalimat Liona terhenti.

"Setelah ini, kuharap tidak akan ada yang terulang lagi... Aku tak ingin kau terluka lagi..."

Liona menggeleng keras. "Apa yang kau bicarakan? Aku tidak mengerti. Bangun, Ju. Kau tidak boleh meninggalkanku."

"Liona... sebenarnya aku yang menginginkannya, menggantikanmu, agar kau tetap hidup. Jadi..." ia menuntut untuk bernapas lagi. "...kau tidak perlu mengkhawatirkanku."

Seakan kata itu bisa membuat Liona mengerti. "Berbahagialah, Liona..." di akhir kalimat, seiring dengan tangan yang menggenggam telapak tangan lain itu mengendor, dan mata yang perlahan menutup abadi. Dadanya yang kembang kempis kini perlahan mulai tenang.

Namun itu malah semakin membuat Liona berteriak. Berkali-kali ia meminta lelaki itu membuka mata, memeluknya erat tubuh yang sudah lunglai. Menggoyahkan tubuh gagah itu berulang kali agar kembali tersadar.

"Kumohon bertahanlah, Ju! Bangunlah! Jangan tinggalkan aku! Kumohon!!" tangisnya semakin menjadi.

"Kau beginipun aku terluka, Ju. Sangat," batinnya. Ia berharap Julian terbangun dan membalas pelukkannya. "Bagaimana aku bisa bahagia tanpamu?" pikirnya. Anggapan Julian salah besar, jika dia pikir gadis itu akan bahagia.

Beralih pada jam saku yang ada di genggamannya, Liona melemparkan benda itu sekeras-kerasnya berharap benda itu hancur berkeping-keping.

"Aku menyesal, Ju. Sangat."

-o0o-

Don't forget vomment,
Thankiss 💕

RETURN (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang