Bab 10

12 0 0
                                    

       Nakamura Ichiro membuka pintu dengan perlahan. Bunyi dencitan terdengar pelan. Ia berjalan dengan parau sambil terus melihat tubuh lemah yang semakin hari semakin kurus. Setelah itu Ichiro duduk di kursi tepat berada disamping laki-laki itu. Jarum infus tertancap di punggung tangannya, serta alat oksigen yang terpasang di hidungnya membuat napas Ichiro sedikit tercekat ketika ia melihatnya.

       Tak lama kemudian, jemari yang ia lihat lama kelamaan sedikit bergerak. Mengetahui hal tersebut, Ichiro langsung mengalihkan pandangan kearah wajah laki-laki itu. "Oniisan," sapanya lembut, lalu tersenyum.

       Laki-laki itu melirik Ichiro sekilas, lalu, "Oh." kata laki-laki itu. "Kau masih saja selalu membuatku terkejut."

       Ichiro tersenyum singkat. "Itu karena setiap kali aku datang, pasti pada saat mendapatimu tertidur pulas."

       Laki-laki itu tersenyum lemah. Bibir pucatnya sedikit terangkat, lalu, "Oh, bagaimana dengannya?"

       "Dia tidak berubah. Sifatnya persis dengan apa yang pernah kau ceritakan dulu kepadaku."

       Detik berikutnya, terdengar bunyi ketukan dari balik pintu. Dengan segera Ichiro bangkit, lalu berjalan menuju pintu.

      "Makan malam," kata perawat itu sambil tersenyum sambil mendorong gerobak yang berisikan beberapa makanan untuk para pasien.

       "Silakan," ujar Ichiro mempersilakan.

       Lalu perawat itu mengambil nampan yang berisi beraneka lauk pauk dan nasi, serta minuman yang dibawanya masuk ke dalam ruangan nomor 103. Setelah itu ia meletakkan di meja yang berada disamping ranjang.

       "Terimakasih," kata Ichiro ramah ketika perawat itu menuju ke luar ruangan. Setelah menutup pintu, Ichiro segera meraih nampan tersebut. "Apakah kau ingin aku suapkan?"

       Laki-laki itu mendengus pelan. "Jangan terlalu berlebihan," katanya sambil menarik papan kecil yang berada disamping tempat tidurnya. Ichiro terkekeh sambil menaruh nampan itu ke papan kecil.

       "Minggu depan aku ada acara darma wisata. Jadi, selama beberapa hari aku tidak bisa berkunjung kesini," kata Ichiro tiba-tiba.

       "Kedengarannya menyenangkan," gumam laki-laki itu sambil meraih sumpit, bersiap-siap untuk memulai makan. "Tak usah terlalu dipikirkan. Lagi pula, ada Ibu yang menemaniku."

       Ichiro mengangguk paham, lalu ia teringat sesuatu. "Ah, dimana Ibu?"

       "Berbahagialah. Sekarang Ibu sudah mendapatkan pekerjaan."

       Mata Ichiro membulat. "Benarkah?"

       Laki-laki itu mengangguk mantap sambil menyumpitkan makanan, lalu menyuapkannya ke dalam mulutnya. "Omong-omong, kau pasti belum makan," katanya dengan suara yang tidak terlalu jelas lantaran sedang mengunyah.

      Ichiro bangkit dari kursinya. "Sudah sering kuperingatkan, kalau makan ditelan terlebih dahulu jika ingin berbicara," desisnya, lalu menepuk-nepuk pundak laki-laki itu. "Sepertinya aku perlu mencari makanan. Melihatmu makan sangat lahap membuat perutku sedih," guraunya sambil berjalan menuju pintu.

       Laki-laki itu melirik sekilas. "Anak zaman sekarang sepertinya lebih suka menasehati orang yang lebih tua," gumamnya. Ichiro membalasnya dengan cekikikan kecil, lalu menutup pintu ruangan.

***

       Hembusan angin malam menyeruak ketika ia memasuki taman yang berada di sebelah kantin rumah sakit. Angin semilir memasuki pori-pori sweter hijau tua yang ia kenakan hari ini.

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang