Bab 9

21 1 0
                                    

       "Selamat ulang tahun. Kuharap Ibumu membelikanmu sepeda baru," kata Akane sambil memberi sekotak hadiah yang dibungkusnya dengan sangat rapi, yang ditengah-tengahnya diberi hiasan pita yang dibentuk menyerupai bunga.

Gadis mungil yang tengah berulang tahun dan memakai gaun cantik berwarna merah marun itu cekikikan mendengar ucapan yang Akane lontarkan kepadanya.

       "Terimakasih. Aku benar-benar sangat menantikan sepeda itu," kata gadis bergaun merah marun itu sambil memeluk Akane senang.

       Akane tersenyum senang sambil mengelus-elus punggung gadis itu.

       Alih-alih sedang memeluk temannya, ia melihat seseorang itu. Laki-laki itu berada ditengah-tengah kerumunan orang sambil membawa segelas soda, lalu tertawa menampakkan deretan giginya yang beraturan, kemudian merapikan poninya yang tadi sempat menutupi kedua matanya, setelah itu...

       "Kurasa kau sangat suka padaku. Lihatlah, tamuku sudah banyak menunggu dibelakangmu," bisik Ohayashi Ueda.

        Akane tersentak, lalu ia melepaskan pelukannya dan tertawa menahan malu ketika ia membalikkan badan. Dan benar, rombongan tamu sudah banyak mengantri untuk memberikan ucapan selamat kepada Ueda.

       "Sumimasen," ucap Akane kikuk sambil membungkuk.

       "Kau bisa memelukku lagi nanti. Tenang saja," gurau Ueda sambil memegang tangan Akane.

       Akane mengedarkan pandangannya kesekeliling. Berharap menemukan sepasang mata tajam yang membuat jantungnya berdegup tidak beraturan.

       Sambil memberi salam kepada orang yang ia kenal, bola matanya masih berputar-putar mencari dimana sosok itu.

       Sampai pada akhirnya ia mendengar suara itu dari balik badannya. "Kobayashi Akane." Tanpa pikir panjang, ia langsung membalikkan badannya dan mendapati sepasang mata tajam yang ia cari-cari sejak tadi.

       Orang itu. Laki-laki itu. Tepat didepannya.

       Akane tersenyum setelah melihat raut wajah yang sudah lama ia nantikan. Setelah beberapa lama seseorang itu tidak menampakkan batang hidungnya, ia amat sangat merindukan orang itu.

       "Sudah lama tidak jumpa, Hiroshi-kun."

***

       Pada saat itu mereka sedang berada di balkon hotel yang mengarah ke danau yang di samping kirinya terdapat perbukitan hijau khusus untuk bermain golf. Udara sejuk, suasana tenang, suara orang bercakap-cakap, alunan musik klasik masih terdengar samar-samar, dan matahari yang tampak redup pada penghujung musim panas kala itu. Panas, tetapi menyejukkan.

       Mereka hanya diam membisu. Entah karena kehabisan kata-kata atau mereka sama-sama mengendalikan degupan jantung yang berdetak sangat cepat.

       Akane menggigit bibir sambil memfokuskan pandangannya pada perahu-perahu yang terparkir di danau itu. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi apa daya, ia tak mampu.

       Ini amat sangat canggung, pikirnya. Ia tidak suka dengan situasi seperti ini.

       "Hiro..."

       "Akane..."

       Mereka menoleh bersamaan, lalu tertawa.

      "Kau duluan saja," ujar Hiroshi mempersilakan.

      "A-aku... Hiroshi-kun tahu persis kalau aku tidak suka situasi seperti ini," kata Akane sedikit gugup.

      "Jadi? Kau secara tidak langsung menyuruhku untuk bercerita tentang pengalamanku kemarin?"

      Akane mengangguk senang."Tentu saja."

       Hiroshi menghembuskan napas pelan. Sedetik kemudian, ia menceritakan tentang pengalamannya mengikuti pertukaran pelajar di China tempo hari yang lalu.

       "Ya, kau lihat. Biasa saja. Aku lebih mencintai negaraku sendiri." Ujarnya setelah membicarakan tentang negeri tirai bambu tersebut.

       "Lalu, bagaimana dengan orang-orang disana?" katanya, lalu, "Karakteristik mereka," Akane mengangkat bahu.

       "Entahlah. Sama saja, aku tidak terlalu memperhatikan," ia tertawa singkat. "Bagaimana denganmu? Kau ingin mengatakan apa tadi?"

      "Ah? A-ano... tidak ada," Akane mengibaskan kedua tangannya.

       Hiroshi tersenyum melihat tingkah gadis itu. Sudah sekitar dua bulan lamanya ia tidak melihat raut wajah yang setiap hari ia bayangkan pada saat jauh darinya.

      Untuk hari ini, detik ini. Betapa leganya ia melihat gadis itu lagi. Gadis itu tidak berubah sama sekali, masih dengan senyuman yang manis dengan rambut panjang yang dibiarkannya terurai.

       Dan itu membuat Tamura Hiroshi pada akhrinya  memberanikan diri untuk mengatakan, "Aku merindukanmu."

       Dengan cepat, Akane menoleh setelah mendengar sesuatu yang tengah membuatnya mengira bahwa alat pendengarannya perlu diperiksakan. "Eh?"

       Hiroshi tersenyum, lalu, "Aku sangat merindukanmu, Kobayashi Akane," katanya. "Kerinduanku membuatku gelisah. Aku tidak tahu mengapa. Tetapi kurasa, aku mencintaimu."

       Sungguh. Detik itu juga ia merasakan ada gejolak yang terus meluap-luap disekujur tubuhnya. Itu kali pertama ia merasakan perasaan yang sangat sulit di artikan. Ia tidak tahu harus merasa senang atau heran, atau... atau apa saja! Ia juga tidak tahu harus menampakkan ekspresi apa dihadapan Hiroshi-kun. Ia sungguh mati kutu pada saat itu juga!

      Akane masih terdiam. Ia membisu setelah mendengar pengakuan dari Hiroshi.

      Dia mencintaiku.

      "Um, ano...," ucap Akane gugup. Benar-benar gugup. Tangannya terasa dingin dan itu membuatnya sejenak berpikir apakah waktu itu ia sedang sakit? Sementara cuaca diluar sana sudah mencapai panas-panasnya.

     "Aku berkata jujur," kata Hiroshi tegas dan lembut.

      Ini gila. Laki-laki itu benar-benar.

    "S-sebenarnya... aku juga merasakan hal yang sama," ujar Akane, lalu ia memberanikan diri untuk menatap mata itu.

      Akane melihat laki-laki itu tersenyum hangat kepadanya. Sementara itu, ia masih sibuk bagaimana caranya menornalkan degupan jantung yang rasanya mau copot itu. Itu benar-benar kali pertama ia merasakan sensasi yang amat sangat dahsyat. Tetapi juga membahagiakan.

***

      Akane terbangun dari lamunannya. Rupanya ia sudah sampai ditempat tujuan.

      Gadis itu tersenyum kecil mengingat apa yang barusan terlintas dibenaknya. Ada seberkas kepahitan yang menghujam hatinya. Karena ia tahu, kejadian itu sangat mustahil jika dialaminya kembali.

       Dengan segala kekuatan yang ia miliki, ia segera beranjak untuk keluar dari bus, lalu berjalan kaki menuju rumah.

      Dalam diam, ia berdoa untuk tidak mengulangi hal itu lagi. Mengingat apa yang seharusnya tidak diingat, dan berharap apa yang sudah terlanjur hilang.


Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang