Part 1

43 7 13
                                    

Satu hari, dimana rintik hujan sedang deras-derasnya mengguyur bumi. Berlomba siapa yang paling cepat untuk sampai diatas permukaan, tempat seluruh manusia berpijak.

Jika direka, saat ini ada yang sedang diam terpaku dibawah naungan atap entah pertokoan maupun halte sekalipun. Ada pula yang memaksa menerobos lebatnya hujan seolah menantang tanpa rasa khawatir, yang penting bisa sampai tujuan dengan segera. Selain itu ada juga yang duduk manis di dalam restoran atau cafe menikmati suara rintik air yang berjatuhan dan hawa dingin sembari menyesap secangkir minuman hangat.

Seperti contohnya, seorang gadis yang sedang duduk bertumpang kaki di kursi sebuah cafe. Tak lupa secangkir kopi mochacino hangat dan novel didepannya. Mendadak, fokusnya teralihkan terhadap kaca jendela yang menampilkan tetesan hujan yang sudah tidak terlalu deras lagi.

Ia pun melirik arloji di tangan kanannya,

Pukul 17.30

Ah benar, sudah satu jam ia berdiam di cafe tersebut karena keasyikan membaca novel. Segera ia bergegas untuk pergi setelah sebelumnya menyesap lagi kopi yang tanggung kalau tidak dihabiskan.

Gadis itu menangkupkan tudung hoddie dikepalanya agar tidak terkena rintik air hujan secara langsung. Lalu ia pun berjalan pulang.

Kiandra Venice, itulah dia.

Setelah sedikit berlari, akhirnya ia berhasil sampai dirumah dengan hoddie yang agak basah terkena rintik hujan.

"LEO, MANDI! UDAH SORE INI MAU MANDI JAM BERAPA?!"

"FELIX ITU ADEKNYA JAGAIN DULU! UDAH TAU MAMANYA LAGI BERES-BERES!"

"MAMAA SI LEO ISENG AMBIL MAINAN AKU!"

Lagi.

Kiandra menghela nafasnya. Sungguh, ia merasa ragu kalau tempat dimana dia berada sekarang bisa disebut sebagai rumah, melainkan lebih mirip seperti 'pasar'.

Sebenarnya inilah satu alasan Kiandra malas untuk diam di rumah. Lebih baik ia pergi dan diam di luar atau ia bisa tetap berada di cafe tadi. Namun, mengingat sosok ayahnya yang keras, ia jadi enggan untuk pergi berlama-lama. Dan saat ini ayahnya belum berada dirumah.

"Udah tau berantakan, gak punya mata. Enak kan ada yang rapiin"

Sialan.

Kiandra sangat tahu betul itu suara siapa. Siapa lagi kalau bukan Wati, ibu tirinya yang sudah merebut ayahnya dari ibu kandungnya dulu. Dan dia adalah orang yang sangat amat tidak tahu diri, bagi Kiandra. Lihat saja mulut toanya itu, minta dirobek rasanya.

Dan, perkataan -sindiran- nya barusan itu sudah 100% diperuntukkan untuk Kiandra.

Tanpa mau berpikir lanjut, Kiandra masuk kedalam kamar dan menutup pintunya rapat. Baginya, mencerna ucapan Wati hanyalah membuang-buang waktu. Sekali lagi Kiandra menghela nafasnya kasar

Kapan sih bakal berakhir? Gua capek.

KRINGG..

"Ki, kantin yuk" Nadine, sahabat Kiandra menarik tangan gadis itu untuk segera bangkit dari bangku nya.

"Duhh tanggung nih Dine, lo aja deh yang ke kantin" jawab Kiandra masih berkutat dengan buku latihan yang berisi 25 nomor soal matematika.

"Ih udah itu mah nanti aja kerjainnya!" Nadine menutup paksa buku latihan itu. Ia sudah muak melihat kumpulan soal aljabar yang hanya membuat otaknya semrawut. "Sekarang kita isi perut dulu, udah konser soalnya dari tadi hehe" Nadine menepuk-nepuk perutnya.

FALSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang