Kiandra menatap kearah luar jendela disampingnya. Saat ini ia sedang berada di cafe, tempat dimana ia biasa menjernihkan pikirannya. Secangkir mochacino juga sudah tersedia di atas meja. Pandangannya pun beralih kearah buku novel yang ada di genggamannya. Buku itu menceritakan kisah perjuangan seorang gadis dalam menjalani alur kehidupan. Karakternya mampu membuat Kiandra jatuh cinta. Setiap hari Kiandra tidak pernah absen untuk membaca salah satu novel kesayangannya itu. Maka tak heran, kini ia sudah hampir sampai pada penghujung cerita.
Ponsel yang berada diatas meja tiba-tiba berdering tanda ada sebuah panggilan masuk. Kiandra mengambil benda pipih tersebut. Setelah melihat siapa yang meneleponnya, ia langsung menggeser tombol hijau.
"Halo pah, kenapa?"
"Kamu dimana? Papah udah didepan cafe."
"Oke aku keluar sekarang."
Kiandra memutuskan panggilan. Ia menutup novelnya lalu segera beranjak dari duduknya. Hari ini ia memang sengaja meminta jemput oleh ayahnya karena dirinya yang malas untuk naik angkutan umum. Pasalnya hari ini, matahari sedang terik-teriknya. Kiandra tidak bisa membayangkan betapa panasnya jika ia memutuskan naik angkot. Bisa-bisa seragam sekolahnya basah karena banjir keringat. Maka dari itu ia memilih untuk naik sepeda motor oleh ayahnya untuk menghindari resiko seperti itu. Lagipula, itung-itung irit ongkos.
"Ngopi kok gak ngajak-ngajak." kata Frans, ayahnya saat Kiandra menghampirinya.
Kiandra hanya menunjukkan cengirannya, "mendadak itu, Pah."
Frans dan Kiandra sama-sama pecinta kopi. Terutama Frans yang setiap hari bisa menghabiskan 2-3 gelas kopi sehari. Kalau Kiandra ia hanya minum 1 gelas seharinya. Namun bagi Kiandra, percuma saja dia minum kopi, rasa kantuk tetap datang setiap saat terutama belakangan ini. Ya, setelah ia mendapatkan mimpi yang menurutnya masih membingungkan.
"Kita makan dulu yuk Ki, laper nih." ujar ayahnya ketika Kiandra menaiki motor.
Jangan tanya betapa senangnya Kiandra jika ayahnya berkata seperti itu. Baginya, diajak makan oleh orangtuanya adalah berkah yang begitu mulia. Karena Kiandra dapat makan sepuasnya tanpa memikirkan kondisi kantongnya.
"Yuk. Kiandra juga laper, kita mau makan dimana Pah?" sahut Kiandra
"Ditempat temen Papa aja, dia baru buka rumah makan katanya." jawab sang ayah.
Motor yang dikendarai Frans pun melesat pergi. Kiandra sangat senang karena dengan makan berdua oleh ayahnya maka akan lebih banyak komunikasi diantara mereka berdua. Dan pastinya mereka bisa makan sepuasnya tanpa harus berbagi dengan yang lain.
Kiandra menghembuskan nafasnya kasar. Ia kesal sekali. Bagaimana tidak, disaat ia hendak fokus belajar untuk persiapan ulangan besok, keadaan disekitarnya tidak mendukung. Suara teriakkan dan candaan Felix, Leo, dan Kefin yang membuat otak Kiandra serasa mau pecah. Hafalan yang begitu banyak ditambah suasana bising dirumah membuatnya tidak dapat fokus. Ia memutuskan untuk keluar dari kamarnya sejenak.
"Berisik woi!" teriak Kiandra menahan emosi. Kini dihadapannya terlihat jelas bahwa keadaan ruang depan rumahnya sudah sangat berantakan. Mainan berceceran disana-sini dan selimut yang tergerai di lantai. Rasanya ia ingin menendang tiga bocah itu ke kutub utara.
"Tau nih si Felix. Udah dibilang diem juga." ucap Leo, yang paling tua diantara mereka.
"Ih apaan, kamu duluan!" jawab Felix tak mau kalah.
"Tau si huu." timpal Kefin, si tertua kedua setelah Leo.
Kiandra yang mendengarnya lagi-lagi menghembuskan nafas kasar. Jika disuruh memilih mengurus tiga ekor kucing atau mereka, Kiandra sudah pasti memilih opsi yang pertama.

KAMU SEDANG MEMBACA
FALSE
Novela JuvenilDi tengah kerumitan hidupnya, Kiandra Venice bermimpi bertemu dengan sosok lelaki yang selalu memberinya semangat serta motivasi yang entah bagaimana selalu berhasil mempengaruhinya. Bahkan ia berharap bahwa sosok itu nyata dalam realitanya Akankah...