Hembusan angin pagi menerpa helaian rambut hitam kecoklatan milik seorang gadis yang kini tengah melangkah santai menyusuri jalan di taman kota. Gadis itu tidak lain dan tidak salah lagi adalah Kiandra Venice. Dengan sekantung plastik belanjaan di tangan kirinya, matanya lurus mengarah kedepan. Terkadang ia memejamkan mata ketika hembusan angin tepat mengenai wajahnya, seakan menikmati. Sejuk.
Hari ini adalah hari Sabtu, dimana sekolah Kiandra memang terjadwal untuk libur, Sabtu dan Minggu tepatnya. Dan pagi ini ia memutuskan untuk pergi ke minimarket terdekat membeli beberapa camilan sebagai solusi pengganjal perut. Penyebabnya sudah jelas, karena stok persediaan camilan dirumahnya habis. Yang menjengkelkan bukan karena dihabiskan oleh Kiandra, melainkan oleh tiga saudara tirinya yang mata keranjang. Mungkin, ini bisa jadi pelajaran untuk Kiandra bahwa tidak akan lagi menaruh camilan miliknya di kulkas.
Mengingat hal itu membuat Kiandra kembali menggerutu kesal. Untung saja ayahnya, Frans, bersedia memberikannya uang untuk membeli camilan baru sebagai gantinya.
Kiandra memutuskan untuk duduk terlebih dahulu di sebuah bangku taman. Ternyata ada baiknya ia keluar rumah, hitung-hitung menjernihkan pikiran. Ditengah kegiatannya tersebut, kilas balik mengenai mimpinya dengan Darren semalam terlintas.
FLASHBACK ON
Kiandra terbangun di alam mimpi seperti biasa, namun yang membedakan adalah ia tidak lagi berada di atas kasur empuk besar, melainkan di sebuah kursi kayu. Ia mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Darren disana. Lantas, Kiandra mencoba bangkit lalu melangkah keluar ruangan.
Matanya tertuju kepada sesosok lelaki yang tengah duduk di sebuah bangku di teras rumah. Kiandra sudah bisa mengenali siapa sosok tersebut. Ia lalu berjalan kearah bangku dan hendak mengagetkan seseorang yang sedang menatap lurus kedepan itu. Perlahan kaki Kiandra memijak tanah rerumputan.
Belum sempat rencananya terwujud, dalam empat langkah, pandangan Darren tertoleh ke arah belakang. Sontak membuat Kiandra mematung ditempat. Mata mereka sempat beradu beberapa detik, sebelum Darren akhirnya bicara,
"Rencana lo udah ketebak."
Kiandra mendengus karena merasa gagal dalam melancarkan aksinya. Ia berjalan mendekat kearah Darren. Sekali lagi, ia lupa bahwa Darren, sosok imajinasinya bisa membaca pikirannya.
"Gue boleh duduk disitu?" tanya Kiandra sembari menunjuk bangku kosong disebelah Darren dengan dagunya.
Darren melirik bangku disebelahnya lalu kembali menatap lurus kedepan. "Duduk dibawah aja. Gue gak mau sebelahan sama lo."
"Yaudah gue pergi aja. Bye!" Baru saja Kiandra hendak melangkah dari tempat tersebut, seseorang mencekal pergelangan tangannya.
"Duduk sini." Darren menunjuk bangku kosong dengan matanya. Ia tahu bahwa kini Kiandra sedang berada dalam mood yang kurang baik. Dan, Darren sudah mengetahui apa penyebabnya.
Kiandra menghela nafasnya lalu ia pun duduk di bangku tersebut. Darren memperhatikan wajah Kiandra yang muram. Kalau diilustrasikan seperti di komik-komik, diatas kepala Kiandra kini terdapat gumpalan awan mendung yang pekat, tidak lupa dengan petir yang menggelegar.
"Soal ibu tiri lo?" tanya Darren to the point.
Kiandra melirik Darren sekilas lalu kemudian menganggukan kepalanya.
"Kenapa?"
Kiandra menghela nafasnya kasar lalu ia menatap Darren
"Lo tau? Tadi itu gue mau makan kan, nah trus gue mau nyendok nasi tuh. Lalu pas gue buka tutup penanak nasinya... wush! NASINYA TINGGAL SECENTONG DONG?! Gue bilang ke bokap kalo nasinya kaga cukup, bokap nanya ke si manusia ular itu. And you know what she said? Dengan entengnya dia bilang belom sempet masak nasi yang baru karena sibuk ngurusin anaknya. Dan dia bilang, kalo mau makan masak lagi aja. Gak ada rasa tanggung jawabnya sama sekali. KAN GUE KESEL!" Kiandra menjelaskan dengan satu tarikan nafas. Maka sewaktu selesai bercerita, ia mengatur nafasnya yang terengah-engah.
KAMU SEDANG MEMBACA
FALSE
Teen FictionDi tengah kerumitan hidupnya, Kiandra Venice bermimpi bertemu dengan sosok lelaki yang selalu memberinya semangat serta motivasi yang entah bagaimana selalu berhasil mempengaruhinya. Bahkan ia berharap bahwa sosok itu nyata dalam realitanya Akankah...