1 | A L I V E

1.8K 103 16
                                    

Edsel menurunkan kaki kanannya. Tangannya menggenggam kusen jendela seerat mungkin. Ini adalah pelarian pertamanya. Bukannya sedang bermain polisi maling ketika siang hari bersama anak panti lainnya.

Ini pelarian yang berbeda.

Yang akan merubah hidupnya.

"Cepat! Hujan sudah mulai turun!" Shabrina menengadahkan tangannya. Memastikan rintik hujan akan segera turun dan benar apa yang didapatkannya. Dua butir air di telapak tangannya.

Edsel tahu ia tidak setinggi dan sekuat kembarannya. Ia terlalu takut untuk melakukan hal-hal seperti ini. Terlebih saat tahu bahwa umur mereka sama-sama sepuluh tahun. Yakni masih perlu pengawasan orang yang lebih tua. Shabrina memiliki pemikiran yang berbeda. Tekadnya yang dibangun sekian lama itu harus segera terselesaikan. Mencari jati dirinya. Cepat sekali ia tumbuh dewasa. Sayang, berbanding terbalik dengan Shabrina. Ia masih sering merengek, tetapi ia tahu cepat atau lambat ia akan menjadi pelindung bagi Shabrina.

"Lompatlah, Edsel! Aku akan menangkapmu!" seru Shabrina tidak sabaran. Edsel menggeleng kuat-kuat. Jarak jendela ke tanah cukup jauh dan ia paling tidak suka mengambil risiko.

"Ayo, Edsel! Sebelum Bu Fey mengecek kamar kita harus segera pergi!" Edsel menjulurkan kakinya. Memperdekat jarak jatuhnya agar tidak terjadi hal fatal. Sesaat ia tengah mengukur jarak yang pas, genggamannya terlepas dan Edsel jatuh.

"Edsel!" Shabrina maju. Edsel jatuh tepat dipelukannya. Tanpa percakapan diantara keduanya, Shabrina berlari dengan tangan menggenggam Edsel. Bertepatan dengan turunnya hujan di malam hari.

Bermodalkan uang secukupnya dan makan malam yang diambilnya sebanyak mungkin dari panti, keduanya berlarian. Guna menjauhi panti yang menjadi kenangan sekaligus mencari masa depan. Shabrina menunjuk truk barang yang belakangnya belum tertutup rapat. Segesit mungkin ia meloncat, sesudahnya ia menarik Edsel. Edsel sibuk menyibak air yang bergelayut di rambutnya. Shabrina melirik sebentar dari dalam pria bertopi berjalan seraya tertawa. Edsel sama ingin tahunya. Namun, Shabrina lebih dulu menahannya. Edsel mengurungkan niatnya dan diam di tempat.

Pak bertopi itu segera naik dan menyalakan mesin truknya. Pak bertopi tidak tahu jika ada dua anak-anak sebatang kara tengah menumpang di belakang, tempat menyimpan barang yang akan diangkutnya ke sebuah kota. Demi mencari masa depan dari masa lalu yang hilang.

***

Shabrina terbangun dari tidur panjangnya. Ia langsung tersadar saat tahu kalau matahari tengah mengintip dari balik celah terpal truk. Mata zamrudnya terlihat bersinar diterpa cahaya. Ia mengintip sekilas. Sekarang mereka ada di kota dilihat dari mobil-mobil yang berkendara, karena ia tidak mendapati mobil semacam itu di desa.

"Edsel bangun!" kita sudah ada di kota. Edsel mengerjapkan matanya. Belum pulih dari tidur lelapnya. Shabrina menyodorkan nasi untuknya.

"Kita perlu makan untuk berlarian sepanjang hari," Edsel mengaduh dalam hati seraya menarik nasinya. Semoga mimpi buruk ini terselesaikan. Edsel tidak tahu lagi bahaya apa yang akan menimpanya di depan. Akibat dari ulah saudaranya. Shabrina merogoh tasnya. Mengambil sebuah buku. Semacam buku catatan pentingnya.

"Kita akan memulai perjalanan panjang, aku harap kita menemukan siapa ibu atau ayah kita," Shabrina menyentuh anting di telinga kirinya. Semacam jimat dan anting itu tidak dapat dilepaskan. Pernah suatu ketika ia sedang dihadapkan orang asing dan menginginkan barang berharga satu-satunya, anting itu tidak bisa dipisahkan oleh tangan kekar terlatih. Shabrina percaya bahwa ada tangan seseorang yang dapat melakukannya. Maka dari itu tekadnya berawal dari situ.

Truk berhenti di sebuah pelabuhan, Shabrina memasukkan buku ke tasnya. Edsel sudah menghabiskan sarapannya secepat mungkin. Shabrinalah yang turun duluan lalu Edsel. Mereka berlari-lari menjauhi truk dan berhenti di sebuah kontainer kosong. Hati-hati Shabrina mengintip. Truk kemudian memasuki sebuah gerbang besar berlapis baja. Shabrina tidak heran atau ingin tahu. Ia sudah belajar cepat. Truk yang ia naikki adalah truk berisikan senjata mematikan. Sudah jauh-jauh hari ia memantapkan rencananya dan tahu sekali truk itu menuju kota. Hasil menguping pembicaraan si supir, Pak bertopi, dan seorang pemilik perakit senjata.

"Apakah sudah selesai?" tanya Edsel. Shabrina mengangguk riang dan keluar dari gang sambil menggandeng Edsel. Sekarang mereka ada di daerah pelabuhan dan berjalan santai keluar.

Edsel menatap orang berlalu lalang di sekitarnya. Baru kali ini ia melihat sebuah perkotaan dengan banyaknya orang dan bermacam-macam kendaraan yang melintas. Binar takjub tercetak jelas di wajah lugunya. Shabrina memantapkan langkahnya. Setidaknya ini bisa membuat Edsel tenang sebelum perjalanan yang entah akan terasa amat panjang atau tidak.

Yang dipikiran perempuan itu adalah bagaimana caranya ia tidur untuk bermalam di kota besar ini. Dalam ketenangannya ia berpikir.

Like, Comment, and Tag Your Friends 😊

16.05.18

10.00 PM

A L I V E #WWS1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang