10 | A L I V E

363 43 2
                                    

Shabrina sibuk dengan telur yang sedang di masaknya. Ia mengingat-ingat apa saja yang harus ditambahkannya ke dalam telurnya.

Ia juga sudah menyiapkan enam lembar roti dan jus jeruk di meja makan. Edsel belum juga turun, lelaki itu lelah karena belakangan ini alas tidurnya tidak sesuai dengan tubuhnya. Alhasil ia keenakan tidur hingga saat ini.

Dengan cekatan ia menaruh telur di atas roti lalu menaruh daun selada dan tomat, setelahnya ia melapisi dengan roti lagi sebagai penutupnya.

"Akhirnya jadi juga," senyuman bangga menghiasi bibirnya. Ia memang 10 tahun, tapi jangan salah, ia punya kemampuan yang berlipat ganda.

Brian sudah siap dengan jasnya. Hari ini ia akan berangkat ke kantor. Perban yang menutupi lengannya sudah dilepas. Begitu ia turun, aroma aneh menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Ia tidak pernah mencium aroma ini di rumah.

Brian mencari sumber dari penyebab aroma ini dan mendapati Shabrina tengah tersenyum puas melihat hasil kerja kerasnya.

Shabrina yang sadar akan kedatangan Brian pun mendongakkan kepalanya.

"Hai..." Shabrina perlu menggigit bibir agar kata selanjutnya tidak terucap. Ia ingin sekali menyebut Brian dengan sebutan yang sewajarnya, Ayah, dan ia tahu itu dapat menjerumuskannya ke dalam perdebatan panjang.

"Apa yang kau lakukan di dapurku?" tanya Brian. Rahangnya mengeras karena kesal.

"Aku membuat sarapan," Brian berlalu, nampak tidak mempedulikan. "Aku akan beli sarapan di jalan."

Shabrina langsung menarik plastik dan memasukkan sandwich buatannya ke dalamnya dan berlari sekencang mungkin mengejar Brian.

"Aku susah susah-susah membuatnya, ayolah," kini keduanya berjalan beriringan. Brian sibuk memasang jam tangannya. Ia tidak menoleh sedikit pun.

Shabrina tampak kesal dan saat Brian masuk ke dalam mobil, diam-diam Shabrina melemparnya ke belakang kursi pengemudinya.

"Baiklah, aku akan pergi," dengan berpura-pura kesal ia berbalik badan dan berlari secepat mungkin. Brian menarik sudut bibirnya, ia senang karena telah membuat kesal gadis itu.

Brian menyetir dalam diam. Biasanya ia mampir ke sebuah restoran yang menyediakan sarapan pagi, tetapi tidak untuk kali ini. Aroma lain menguar di mobilnya dan itu bukan berasal dari pengharum mobil. Aroma ini berasal dari belakang. Brian mengernyit, bahkan perutnya sudah berbunyi untuk minta diisi karena aroma itu.

Brian meraih apa yang telah mengakibatkan perutnya berbunyi ini. Saat ia menggenggam sebuah plastik, ia menyambarnya.

Sandwich!?

Brian bertanya kepada dirinya sendiri. Ia tidak membuat kekacauan apa-apa di dapur dan ia mengingat kembali. Gadis tadi yang telah membuatkannya sandwich.

Brian mendesah pasrah. Ia sudah tidak tahan lagi dan membuka plastik tersebut. Agak ganas memang sandwich yang dia makan. Ia rasa ini adalah sandwich terenak yang pernah ia rasakan. Atau ia sangat kelaparan pagi ini? Ia tidak tahu.

Edsel belum juga lepas dari selimutnya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang terpampang jelas di hadapannya. Semalaman ia tidak bisa tidur memikirkan nasibnya sedangkan Shabrina sudah mendengkur keenakan di sampingnya. Ia baru bisa tidur menjelang pagi dan baru terbangun saat jam menunjukkan angka 9.

A L I V E #WWS1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang