Halo para pembaca!
Aku mau berterima kasih banget sama kalian yang udah ngikutin cerita ini dan yah, aku juga baru belajar untuk buat cerita semacam ini.
Sekali lagi terima kasiiiih dan selamat menikmati kisah Edsel, Shabrina, dan Brian.
Here we go!!!
***
"Jangan sebut nama lengkapku lagi!" pinta Edsel dengan tegas. Lantas Shabrina mendorong Edsel untuk menyingkir dari hadapannya. Keduanya sedang berjalan di lorong sekolah yang sepi, mereka melihat murid-murid sedang fokus kepada guru yang mengajar. Kaca di kelas dibuat satu arah agar tidak memecah konsentrasi murid-murid yang belajar. Ini sengaja dilakukan.
Mereka meninggalkan Brian dan Aryo di ruang kepala sekolah dan izin untuk melihat-lihat kondisi sekolah.
"Kau dengar aku, Shabrina?" tanya Edsel menuntut. "Aku dengar dan lupakan ocehanmu itu."
Edsel menatap saudarinya kesal. Ia baru bisa diam saat seseorang keluar dari kelas. Seorang lelaki.
Shabrina memberhentikan langkahnya secara tiba-tiba. Tanda solidaritas membuat Edsel berhenti juga. Lelaki yang baru saja keluar dari kelas menatap keduanya. Dengan tidak sopannya tatapan itu penuh dengan penilaian.
"Kalian murid baru?" tanyanya, tatapan orang itu menajam. Shabrina mengernyit. Bagaimana bisa seseorang yang sedang menatap mereka tajam, memperkenalkan dirinya? Ini lebih seperti ingin berkelahi.
"Eum... yah bisa dikatakan begitu," jawab Shabrina. Edsel mengetatkan rahangnya. Lelaki di depannya tampak terhibur dengan permainan emosi Edsel.
"Kuharap kalian kerasan berada di sini, aku Gavyn, dan aku tahu siapa kalian," Gavyn membalikkan tubuhnya hendak pergi dari sana. Ia bersiul santai tanpa peduli Shabrina dan Edsel menatapnya horor.
"Bagaimana dia bisa tahu?"
"Kuharap itu bukan sesuatu yang buruk dan... aku minta kau tidak cemas," balas Shabrina. Edsel mengangkat bahunya. Tangannya sudah menyelinap masuk ke kantung jeansnya.
"Apa kau butuh pembuktian?" tanya Shabrina.
"Pembuktian apa?" tanya Edsel bingung.
"Bahwa ia dari jenis yang sama seperti kita," ujar Shabrina. Ia kembali berjalan. Edsel menoleh ke arah Shabrina. Wajah gadis itu tersenyum riang.
"Apa kau yakin?"
"Instingku mengatakan begitu," Shabrina menunjuk kepalanya. Shabrina melanjutkan, "tidak mungkin ia tahu nama kita kalau ia manusia biasa."
Mereka berjalan mengikuti arah yang tadi Gavyn ambil. Ternyata mereka menuju ke toilet. Shabrina bersandar di dinding sedangkan Edsel di sebelahnya. Edsel sudah bersedekap sembari menunggu Gavyn keluar.
"Apa lelaki selalu selama ini untuk pergi ke toilet?" tanya Shabrina yang sudah bosan menunggu. "Tergantung."
"Tergantung apa?"
"Ia mungkin punya masalah dengan perutnya," jawab Edsel asal.
"Atau ia butuh berubah menjadi sesosok monster?" keduanya tertawa mendengar gurauan itu.
"Apa kalian menertawakanku?" suara itu bukan berasal dari toilet melainkan dari sudut lain. Gavyn berdiri dengan kokohnya, tidak lupa tangannya bersembunyi dari balik jeans. Rambutnya yang hitam sedikit berantakan, tetapi tidak mengurangi aura dinginnya.
"Kukira kau ke toilet," Shabrina lebih dulu maju. Gadis ini benar-benar tidak mengenal kata bahaya dan Edsel terpaksa membiarkan gadis itu. Toh, gadis itu bisa mengalahkan Brian.
"Jadi, kau tidak mau mengaku?" Gavyn mengernyit, tidak mengerti dengan perkataan Shabrina.
"Mengaku apa?"
"Mengaku bahwa kau adalah jenis manusia serigala," Gavyn tertawa terbahak-bahak.
"Kau mempercayai mitos kuno itu?" Shabrina tidak terima jika itu hanya sebuah mitos. Dia di sini berdiri karena mitos itu jatuh padanya.
"Baiklah, walaupun kau tahu namaku tidak secara resmi. Setidaknya kita bisa berkenalan layaknya manusia biasa. Aku Shabrina," Shabrina menyodorkan tangannya. Trik yang akan dilakukannya untuk menemukan kejujuran seseorang. Dengan bodohnya, Gavyn tidak menolak uluran itu.
"Gavyn," secara tiba-tiba penglihatan Gavyn di butakan. Disitulah Shabrina bekerja sebagai pembaca pikiran. Gavyn menarik tangannya dan mundur, ia tersandung kakinya sendiri hingga terjatuh di lantai koridor. Shabrina tersenyum dengan penuh kemenangan.
"Rahasiamu terbongkar," Gavyn berdecak. Ia memang sangat bodoh. Gavyn berdecak dan bangkit dari duduknya.
"Kemampuanmu mendengar seseorang dengan getaran, getaran tersebut membutuhkan medium. Kau sama seperti saudaraku," jelas Shabrina.
"Hei, darimana kau tahu!?" Edsel protes, kemampuannya itu tidak pernah ia tunjukkan pada Shabrina.
"Kau diam atau berbicara, aku tahu apa yang kau pikirkan, jadi diamlah," Shabrina memelotot saat menatap wajah Edsel.
"Jadi, Gavyn. Bisakah kau mengantar kami untuk mengelilingi sekolah besar ini? Kulihat kau juga tidak berminat untuk mengikuti pelajaran yang sedang berlangsung," Shabrina tersenyum untuk Gavyn yang wajahnya sudah seperti akan ada badai besar.
Gavyn akhirnya bersedia menuruti permintaan gadis bermata hijau dengan sedikit terpaksa. Ia hanya menjawab sekilas apa yang di pertanyakan oleh Shabrina. Edsel cukup mendengarkan karena Shabrina telah mewakili semuanya.
Bangunan sekolah ini di desain seperti museum dan bangunannya terlihat kuno. Jangan hanya lihat dari depannya saja, bangunan ini di lengkapi fasilitas modern dan lengkap. Interior dalam sangat berbanding terbalik dengan bangunannya. Arsitekturnya membuat bangunan ini sangat menarik dan siapa pun yang bersekolah di sini akan betah melihat pemandangan gunung dari aula makan yang hampir semua dindingnya terbuat dari kaca.
"Ini sekolah terbaik yang pernah kutemukan sepanjang hidupku," kagum Shabrina.
"Apa ada lagi?" tanya Shabrina. Gavyn diam sejenak untuk mencari tempat apalagi yang belum mereka singgahi.
"Kolam renang atau aula serbaguna?"
"Apakah itu beda tempat?"
"Lebih dekat kolam renang, gedung serbaguna ada di paling belakang," jelas Gavyn dan Shabrina langsung menjawab kolam renang. Mereka berjalan bersama menuju kolam renang. Kolam renang dibuat indoor karena jelas kolam tersebut hanya digunakan untuk keperluan kegiatan pembelajaran.
"Jarang ada yang berenang bebas di sini karena anggota ekstrakurikuler renang sering berlatih untuk perlombaan," lanjutnya.
Setelah puas dengan kolam renang mereka melanjutkan perjalanana merek menuju gedung serbaguna. Gedung tersebut mirip dengan gedung pertunjukan tanpa kursi penonton. Dibuat sangat megah seakan kita terlempar ke masa lampau karena ukiran dinding dan langit-langit bergambar para malaikat kecil dan di cat sehidup mungkin.
"Ini luar biasa," pekik Shabrina.
"Berapa banyak jenis yang mirip dengan kita?"
"Kau berbicara seolah-olah kita binatang," ujar Edsel.
"Kurasa tidak banyak," jawab Gavyn. "Aku tidak bisa merasakannya."
Mereka berhenti mendadak. Dikarenakan Gavyn yang memulainya. Shabrina melihat lelaki itu tampak kalut. Edsel juga merasakan hal yang sama. Edsel yang ragu keadaan seorang lelaki langsung menyeletuk.
"Kau belum menjadi manusia serigala seutuhnya."
Gavyn mengangkat wajahnya. Mereka saling beradu tatap. Gavyn yang tidak bisa mundur lagi mengusap wajahnya kesal.
"Kenapa kalian bisa sepintar ini sih?" protesnya. Shabrina hanya terkekeh.
"Atau kau yang lebih bodoh dari kami?"
Like, Comment and Tag Your Friends 😊
13.06.18
11.12 AM
KAMU SEDANG MEMBACA
A L I V E #WWS1
Manusia SerigalaWEREWOLF SERIES #1 © Copyright July 2018 Nadin Aldeeyan