Udara sudah dingin dan belum ada dari ketiganya yang ingin memulai percakapan. Brian menajamkan mata untuk memperhatikan keduanya. Mereka kini telah duduk di sofa hitam. Shabrina berulang kali membuka mulutnya tetapi dorongan lain mengurungankan niatnya.
Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sampai ia lelah sendiri dan melontarkan kata-kata nya tanpa pikir panjang.
"Kau mungkin tidak percaya dengan apa yang kami katakan," kata Shabrina cepat. Edsel hendak menghentikan Shabrina tetapi sia-sia saja. Mulut Shabrina lebih cepat bergerak.
"Kami adalah anak Anda," air mata Shabrina tertahan di pelupuk matanya. Edsel mencengkeram lengan Shabrina.
Brian termenung sejenak dan terkekeh dan kekehannya itu berlanjut. Ia terbahak sambil menatap keduanya bergantian.
"Kalian tidak punya bukti akan hal itu," ucap Brian setelah tawanya reda. Edsel tersinggung dengan hal itu.
"Tetapi kami punya foto dirimu," geram Edsel.
"Foto? Foto tidak bisa menjadi bahan pengikat hubungan, lagipula..."
"Foto itu hanya dimiliki oleh ibu," potong Shabrina. "Apa aku benar?"
Brian setengah terkejut tetapi buru-buru di telannya. Shabrina bangkit dan duduk lagi di samping Brian. Ada jarak diantara mereka dan mata Shabrina jatuh tepat di mata Brian.
"Aku mungkin hanya anak 10 tahun yang diremehkan olehmu," Shabrina tercekat. Ia masih ingat wajah gadis bermata coklat di pikiran Brian. Ia berusaha menyimpan ingatan itu baik-baik di dalam pikirannya.
"Apa saat aku memegangmu tadi, kau... melihat seseorang dari masa lalu?" Brian terdiam. Mustahil dia bisa melihatnya juga.
"Aku bisa melihatnya," sambung Shabrina.
"Aku tidak mengerti apa maksudmu," kata Brian. Edsel dari jauh memperhatikan. Interaksi antara dua orang itu begitu dekat. Ia dapat mendengarnya dengan jelas. Ia tidak tahu kekuatan apa tapi yang jelas ia berubah setiap harinya.
"Siapa orang itu?" tanya Shabrina pada akhirnya. Ini adalah hal tersulit bagi Brian dan karena Brian menolak bekerja sama untuk mengingat kejadian lamanya, emosi nya menguasai dirinya.
"Siapa kalian dan berani-beraninya kalian masuk ke rumahku," Brian berdiri dari duduknya. Amarah menguasainya dan Shabrina jadi mundur karenanya. Edsel juga sudah berdiri, untuk mengambil ancang-ancang bila ada serangan mendadak.
"Aku butuh penjelasan tentang wanita itu langsung dari mulutmu," teriak Shabrina. Edsel menyumpah dalam hati, gadis itu memang keras kepala sekali.
"Aku tidak mengenal orang itu," jawab Brian.
"Aku bisa melihat kau memikirkannya tadi," kata Shabrina terngengah-engah. Emosinya yang belum stabil dapat membangkitkan serigalanya. Ini sangat berpengaruh dan Shabrina menahan serigalanya untuk keluar. Sudah jadi naluri alamiahnya untuk melakukan perlawanan.
"Trik murahan, aku tetap tidak percaya," kekeh Brian setelahnya. Tangan Edsel mengepal.
"Kau mengenalnya!" sembur Shabrina, matanya sudah berapi-api. Tinggal menunggu detik-detik ia mengamuk. Berusaha keras Shabrina menghalangi sosok Brina yang kian kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
A L I V E #WWS1
WerewolfWEREWOLF SERIES #1 © Copyright July 2018 Nadin Aldeeyan