Serigala abu-abu yang duduk di tengah lapangan mulai menyusutkan bulu-bulu tebalnya. Tergantikan oleh sesosok manusia tak berbusana. Edsel berlari cepat menuju bawah, langkahnya besar-besar saat menghampiri Shabrina.
Mata Shabrina terpejam akibat lelah. Jiwa nya bertarung dengan jiwa satunya. Edsel dengan cekatan membungkus tubuh Shabrina dan menggendongnya. Brian mengulurkan tangannya untuk membantu tetapi Edsel menggeleng sebagai respon penolakan darinya.
Dada Brian terasa sesak. Bukan karena penolakan itu. Akan tetapi sebuah kenyataan menohok hatinya dan itu tidak bisa diputar kembali.
Ia menyesal luar biasa ketika ia memutuskan untuk mengusir Mala dalam hidupnya. Pergi jauh karena sebuah kesalahan fatal yang Mala lakukan. Ia berubah menjadi seekor serigala.
Brian yang pada dasarnya berani tersentak tak percaya. Ia bahkan tega memanggilnya 'monster'. Oh, betapa jahatnya ia terhadap wanita yang amat sangat di cintainya waktu itu.
Brian benar-benar tidak tahu jika wanita itu adalah Mala. Ia kira wanita itu adalah seseorang yang menjadi Mala. Ia ingat mata hazel wanita itu. Ia ingat sekarang bahwa itu adalah Mala.
Yang tidak diketahuinya, Mala tengah mengandung anaknya. Ya, merekalah anak-anaknya, Edsel dan Shabrina. Satu hal lagi yang membuatnya marah adalah saat Mala meninggalkan mereka setelah melahirkan mereka.
Apa yang dilakukan Mala?
Brian setengah tergesa menuju kamarnya. Ia harus membuka arsip lama. Arsip berisikan daftar orang-orang yang masuk daftar hitam dan Mala masuk ke dalamnya karena secara tidak resmi memundurkan diri sehari setelah Brian mengusirnya.
Bisa jadi ia adalah mata-mata yang diselundupkan perusahaan lain. Begitu Mala menghilang, Bos Besar langsung mengerahkan pasukan khusus untuk mencarinya. Pasukan khusus hanya akan di keluarkan jika keadaan genting dan Brian harus meyakinkan Bos Besar jika Mala bukanlah sebuah ancaman yang membahayakan.
Bos Besar menolak keras permohonan Brian. Ia tetap mencari hingga ke sudut desa. Brian juga ikut andil dalam pencarian ini.
Setelah dua tahun berlalu dan belum ada ancaman besar. Bos Besar memutuskan kasus besar ini di tutup secara resmi. Di saat itu pula Brian menutup hatinya.
Brian menarik laci di bawah tempat tidurnya. Laci itu masih sama seperti terakhir kali ia buka. Ia menarik selembar foto dan rahangnya mengeras menahan amarah.
"Maafkan aku," ucapan maaf dari seorang Brian pun terucap dari mulutnya.
***
Edsel menangkup tangan Shabrina yang dingin. Hari sudah beranjak siang dan Shabrina belum juga mmebuka matanya.
Edsel menolak keluar hanya untuk bertatap wajah dengan Brian. Kini ia tahu segala sesuatu tentang Brian, tentang masa lalunya. Shabrina menceritakannya dengan tenang. Walaupun Edsel bisa melihat air mata yang tertahan di pelupuknya saat gadis di depannya menceritakannya.
Penantian panjang segera berakhir bagi Edsel. Shabrina menggerak-gerakan bulu matanya dan matanya terbuka. Ia mengerjap sebelum menoleh dan wajah Edsel sangat dekat dengannya.
Edsel menarik gelas berisikan air dan membantu Shabrina minum.
"Kau terlihat lebih tua," ujar Shabrina. Edsel melirik bingung kepada saudaranya. "Tambah tua?"
"Wajahmu semakin tegas, apa kau sudah berubah juga?" Edsel terdiam sesaat. Yang dilakukan selanjutnya adalah memegang wajahnya. Ia memang merasakan keanehan di dalam tubuhnya tetapi ia tidak bisa merasakan dirinya berubah.
"Kurasa aku masih normal. Apa aku jadi semakin mengerikan?" tanya Edsel kembali. Shabrina menggelengkan kepalanya pelan. Mereka terdiam cukup lama setelahnya.