Brian, Edsel, dan Shabrina pulang ke rumah saat hari beranjak siang. Mereka saling diam satu sama lain. Shabrina senyum-senyum sendiri di mobil karena ia mendapatkan seorang teman. Bagusnya, temannya itu satu jenis dengannya.
“Aku ada urusan mendadak di kantor, kurasa kalian akan di rumah seharian ini,” ujar Brian.
“Seperti biasa,” Shabrina menggumamkan kata-kata tersebut yang rupanya didengar Brian.
“Nanti kalian akan kedatangan seseorang yang membantu mencari keperluan kalian,” Keduanya mengangguk mengerti, Edsel dan Shabrina turun setelah sampai di rumah dan Brian mengubah persneling agar bisa keluar dari gerbang rumahnya.
“Apa yang ia lakukan?” tanya Edsel kepada Shabrina setelah Brian pergi. Shabrina menggeleng, “Aku tidak sempat menyentuhnya dan ia seperti menjaga jarak.”
“Kurasa urusan kantor biasa,” Shabrina masuk ke dalam rumah begitu juga dengan Edsel. Tanpa lagi berpikir yang aneh-aneh.
Brian melajukan mobilnya sedikit kencang karena ia harus sampai di kantor. Beberapa orang yang memiliki akses masuk ke ruang arsip segera dihubungi nya.
“Aku mau kau mencari arsip sepuluh tahun yang lalu dan cari data bernama Nirmala S Rosanne,” lelaki di seberang sana mengerti dan Brian memutuskan sambungan. Ia sudah sampai di gedung parkir dan berjalan cepat masuk ke kantor.
“Brian?” Bos Besar menyapanya saat lelaki itu masuk. Bos Besar menyuruhnya duduk dan meminum suguhannya.
“Kau ingat dengan perusahaan Circle Leaf?” Brian mengangguk dan meneguk kopi hitamnya. Mereka sudah saling melupakan kejadian kemarin dan sampai Bos Besar mengungkitnya lagi, mungkin secangkir kopi akan melayang ke wajah tua Bos Besar.
“Salah satu orang milik Circle Leaf masuk ke perusahaan kita dan lantai pengendalian di akses olehnya karena penjaga dihabisi olehnya,” Brian menyimak Bos Besar. Wajahnya yang tua tampak begitu menyeramkan saat ia berubah menjadi suram.
“Ia mengambil aset penting milik perusahaan kita, di dalamnya terdapat koneksi untuk orang khusus dan para perusahaan yang bergerak di bawah naungan kita,” jelas Bos Besar.
“Apa yang mereka lakukan?”
“Membuatnya bekerja sama dengan mereka dan secara tak resmi mereka akan bekerja dengan Circle Leaf. Jika hal tersebut sampai terjadi, maka satu persatu perusahaan-perusahaan kecil mulai beralih sehingga kita bisa tersingkir. Inilah yang namanya jatuh perlahan.”
Brian menegakkan punggungnya. Menanti perintah selanjutnya untuk mengerjakan tugas barunya.
“Kuperintah kau untuk mengambil kembali hak yang seharusnya kita punya,” Brian mengangguk mengerti. Kini ia saatnya beraksi setelah sekian lama ia tidak merasakan sesuatu yang besar.
Brian turun dari lift di lantai 6. Ia berjalan cepat dan segera mendorong pintu kaca yang menghubungkan ruangan besar. Ia menuju salah satu bilik dan menepuk pundak milik seorang laki-laki.
“Kirimkan aku cetak biru gedung pusat Circle Leaf,” laki-laki di depannya mengangguk dan Brian angkat kaki sambil merogoh ponselnya. Ia kembali lagi ke lift dan menekan angka 5.
Brian menghubungi seseorang lewat ponselnya. Mengatakan bahwa hari ini akan diadakan pertemuan mendadak di lantai 5. Setengah jam kemudian rapat mendadak yang dipimpin oleh Brian sendiri terkait dengan rencananya.
“Baiklah, ini akan menjadi sedikit sulit karena saingan kita adalah Circle Leaf yang memang merupakan musuh bebuyutan kita.”
Shabrina membuka matanya dan sebuah televisi masih menyala tanpa suara. Shabrina mencari-cari jam dan ia sedikit terkejut karena ini jam 1 pagi. Jam 1 pagi dan dia sudah tertidur di sofa.
Shabrina kesal karena melewatkan makan malamnya. Sedangkan Edsel, ada dan tiadanya Brian, ia tetap makan duluan dan mengendap di kamar tanpa mau keluar lagi.
Suara gerbang di buka, mata Shabrina yang masih terlihat sayu dan belum sepenuhnya sadar. Ia sangat lelah hari ini dan ia masih dalam keadaan seperti itu saat Brian masuk.
“Kenapa kau seperti itu?” Shabrina hanya menggeleng lemah dan bangkit dari sofa, menyeret selimutnya menuju kamar sedikit terseok karena masih baru bangun. Brian menatap gadis itu heran.
Sesampainya di dapur, ia mengambil gelas untuk minum dan matanya jatuh pada tutup saji. Di tariknya benda yang menutupi itu dan dua mangkuk mi tek tek terhidang dengan keadaan sudah dingin.
Brian yang tahu siapa yang dapat berbuat ini langsung berjalan ke arah Shabrina. Shabrina yang sedang menarik selimut jadi terhenti karena selimutnya di tarik.
“Kau belum makan,” Shabrina hanya menoleh lewat bahu lalu menjawab.
“Aku sudah mengantuk, Paman saja,” Shabrina menguap lebar dan kembali lagi untuk menyeret selimutnya. Brian menahannya.
“Perutmu perlu diisi dan besok kau sudah masuk sekolah. Menurutlah,” Shabrina yang mengantuk dan lemot perlu mencerna kalimat Brian yang begitu cepat. Kemudian ia mengangguk dan berjalan di belakang Brian.
Brian cekatan memasukkan mangkuk ke dalam pemanas dan menunggu tak sampai lima menit. Mi tek tek dengan baunya yang masih segar menguar memenuhi dapur. Brian mendorong mangkuk satunya untuk Shabrina dan dalam keadaan setengah sadar, Shabrina memakannya.
Shabrina melihat Brian bolak-balik mengangkat ponselnya. Untuk sekedar melihat atau kadang mengetik. Sepertinya ini hari yang sibuk baginya.
“Sibuk sekali, apa aku boleh tahu apa yang Paman kerjakan?” Brian melirik mangkuk Shabrina yang tinggal menyisakan kuah saja. Ia juga melihat Shabrina yang masih mengantuk, dengan sedikit mengusir Brian menyuruhnya untuk tidur. Tanpa perdebatan ia mengangguk dan kembali ke kamar untuk meneruskan tidurnya.
Brian mendapat pesan jika dirinya sudah di kirimkan file berisi berkas yang ia inginkan. Karena hari sudah menjelang pagi ia beralih untuk istirahat dahulu sebelum membacanya.
Maka ia meluangkan waktunya untuk tidur sebelum memulai perang besok.
Baginya 3 jam beristirahat adalah hal yang sudah lumrah saat ia menjadi seorang agen. Ia berkutat dengan laptopnya untuk membaca berkas panjang itu. Sibuk menelusuri jejak terakhir yang pernah di tapaki oleh sebagian agen yang terlibat.
Brian memikirkan hal lain sebagai bukti dan satu-satunya bukti adalah ada pada dua kembar itu. Saat Brian turun, ia bersyukur telah mendapati kedua anak itu sudah terbangun.
“Kalian siap berangkat?” tanya Brian.
“Kurasa tidak ada yang tertinggal, kami siap,” Shabrina yang mewakilkan. Edsel mengekor Shabrina di belakang. Brian masuk ke kursi pengemudi dan Edsel di sampingnya. Shabrina berada di belakang.
Hanya radio yang bersuara di dalam mobil Brian. Tanpa harus menunggu lama untuk mencapai sekolah, Brian menurunkan keduanya dengan Shabrina yang melambai untuk mengucapkan perpisahan.
Brian mengangguk sekilas lalu menginjak pedal.
“Apa yang dilakukannya?” tanya Edsel kepada Shabrina. Shabrina menggeleng pelan. Belum bisa melepas pandangannya dari mobil yang Brian kemudikan.
“Sesuatu yang besar akan terjadi.”
13.06.18
11.30 AM
Double-publish hari ini. Bisa jadi tiga tapi masih di pertimbangin buat yang selanjutnya. Aku nggak tau gimana perasaan pembaca yang udah baca cerita aku.
So, saya sebagai penulis pengen tau review kalian dengan COMMENT di bawah tentang cerita aku.
Just comment. It's free!
Salam sayang dari aku,