6 | A L I V E

393 44 4
                                    

Edsel membawa Shabrina yang tak sadarkan diri ke kamar. Tubuhnya yang polos didekap oleh Edsel. Perlahan ia membaringkan gadis itu di atas kasur. Dengan kasar, Edsel membuka lemari. Ia mengambil baju berwarna putih yang tergantung. Tanpa berkata-kata, Edsel memakaikan baju tanpa lengan itu ke tubuh Shabrina. Edsel masih terengah-engah akibat serangan yang diberikan Shabrina beberapa waktu lalu. Ingatannya pun kembali melayang ke kejadian sebelumnya.

Sesaat setelah Shabrina berubah sepenuhnya, Edsel tak sengaja menjatuhkan sebuah figura yang ada di rak buku. Kejadian tak disengaja ini membuat serigala di depannya menoleh ke arahnya. Edsel langsung waspada meskipun ia sangat gemetaran. Serigala itu mendekat ke arah Edsel berada. Perlahan dengan taring tajam sempurna. Edsel pun mengangkat tubuhnya untuk berdiri.

Taring serigala di hadapannya sangat tajam. Seringaiannya adalah seringai paling menakutkan yang pernah Edsel dapatkan. Tanpa ba-bi-bu, serigala tersebut menyerang Edsel. Dengan cepat ia menghindar. Bagaikan petir, energinya terisi penuh. Edsel sendiri bertanya-tanya, mengapa tubuh yang ringkih ini bisa bergerak gesit, membawanya menghindari serangan dari cakaran.

Serigala abu-abu itu terus menyerang, mengejar, dan menyakar. Hingga ruang tengah tak lagi berbentuk. Meja terbalik, rak buku jatuh, busa sofa keluar dan berterbangan, vas pecah, dan masih banyak lagi benda-benda tak berdosa itu mengalami hal buruk.

Di tengah pelariannya, Edsel sadar jika si serigala tidak lagi mengejarnya. Ia membalikkan tubuhnya. Kini si serigala sedang berdiri tepat di tengah-tengah ruangan, sedang melawan dirinya sendiri.

Edsel mengambil posisi di balik sofa agar dapat memantau lebih baik. Pelan-pelan serigala itu mulai menutup matanya, lelah. Tubuhnya sudah bersimpuh. Begitu arah pandang si serigala menuju bulan, ia pun melolong merdu.

Tak butuh waktu lama untuk tertidur. Matanya terpejam sempurna setelah melolong panjang.

Bulu-bulu kelabu itu mulai menyusut, menyisakan kulit putih yang halus.

Dari sebuah monster menjadi seorang gadis. Edsel yang masih digelayuti ketakutan, dengan segenap keberanian ia mendekat.

Dan, disinilah ia menatap Shabrina. Berbaring dengan mata yang menutup sempurna, Edsel bersedekap. Dikerutkannya keningnya, berbagai macam pertanyaan berkecamuk.

Apa? Bagaimana? Kenapa bisa?

Edsel teringat buku yang belum dituntaskannya. Edsel beranggapan kalau buku mengenai serigala itu dapat menutupi rasa penasarannya. Maka ia membawa langkahnya menuju ruang tengah yang tidak lagi bisa disebut ruangan.

***

Shabrina terbangun karena cahaya matahari menusuk penglihatannya. Ia mengedarkan pandangannya. Sedikit pun ia tidak tahu mengapa dirinya bisa berakhir di ruangan ini. Ia merunduk, bajunya sudah berganti. Shabrina kembali mengingat-ingat apa yang terakhir kali ia lakukan sampai-sampai dirinya lupa.

Mungkin ia terlalu mengantuk semalam. Shabrina mengangkat bahunya.

Kosong. Tidak ada jawaban terlintas. Shabrina kemudian turun dari kasur lalu melangkahkan kakinya ke dapur. Firasatnya mengatakan jika Edsel ada di sana. Shabrina tersenyum, Edsel sedang menghadap jendela. Membelakangi dirinya.

Shabrina menarik salah satu kursi makan dan itu menimbulkan bunyi. Cukup untuk menarik perhatian Edsel. Edsel berbalik menghadap saudarinya.Keduanya bertatapan lama.

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya Shabrina kemudian.

"Apa kau ingat kejadian semalam?" sambar Edsel.

"Semalam? Bukannya aku ketiduran?" tanya Shabrina. Ia benar-benar tidak mengingat apapun tentang semalam. Yang hanya ia ingat adalah ia tertidur diantara buku-buku yang tengah mengelilinginya dan siap untuk digeledah. Hanya itu.

A L I V E #WWS1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang