7 | A L I V E

355 45 2
                                    

"Apa kau pernah melihat anak kecil ini?" tanya Brian untuk yang kesekian kalinya pada orang-orang yang tidak dikenalnya. Dan, untuk yang kesekian kalinya pula orang itu menggeleng. Brian mengucapkan terima kasih dan berlalu pergi.

Ia kembali memanuver mobilnya. Bertanya dari satu orang ke orang lain. Berhenti tiap 500 meter perjalanan. Hampir semua supir angkot yang tengah bertugas menjadi sasaranya.

Brian yakin sekali jika mereka bukan ancaman sedikit pun. Buktinya tidak ada gerakan mencurigakan. Ia sering kali menghubungi Bos Besar, melaporkan tugasnya sekaligus meyakinkan. Dan, tidak berpengaruh apa-apa. Bos Besar hanya ingin melihat kedua anak itu dan setelah selesai di wawancara olehnya, maka urusannya selesai. Ia bisa berpindah misi dan kalau bisa ia kembali bertugas di lapangan agar ia tidak bisa menemui Bos Besarnya lagi saking kesalnya.

Ia berhenti di sebuah pedagang gorengan dan ia bersumpah jika pedagang gorengan ini sampai menggelengkan kepalanya sebelum dengan jelas melihat kedua wajah anak-anak ini, ia akan memotong lehernya.

"Selamat siang, mau beli apa?" tanyanya ramah. Brian tersenyum tidak kalah ramahnya. Brian merogoh sakunya mengambil selembar kertas penting bagi Bos Besar dan tidak baginya. Pedagang gorengan itu menyipitkan matanya dan mengangkat foto tersebut.

"Bisa pegang sebentar? Saya butuh kacamata saya," Brian mempersilahkan pedagang itu untuk mengambil kacamatanya ke dalam rumah. Sekembalinya ia meminta foto itu lagi dan mengangguk-angguk.

"Apa Anda melihat mereka?"

"Itu mereka pelanggan saya tadi pagi," entah Brian ingin sujud syukur atau kalau bisa memborong dagangannya.

"Apakah Anda tahu mereka pergi ke arah mana?" tanya Brian lagi saking tidak mau kehilangan jejaknya.

"Ah iya, aku melihat mereka. Mata mereka hijau sekali. Kukira mereka dari negeri asing, ternyata mereka sebatang kara," ucapnya pelan.

"Tadi pagi mereka membeli dagangan saya dan sangat terburu-buru sekali. Mereka juga bilang akan ke Pelabuhan untuk bertemu seseorang, begitulah katanya," cukup informasi yang diberikan. Cepat Brian berpamitan dan membawa mobilnya menuju pelabuhan. Hari ini, ia akan menuntaskan semuanya.

Untuk pertama kalinya senyumnya merekah setelah melewati masa-masa sulit dalam pencariannya.

Satu jam kemudian. Brian sudah berada di area pelabuhan. Entah pikirannya langsung menuju ke pelabuhan, tempat ia berpapasan dengan anak kecil itu. Anak kecil yang sudah berani memasuki pikirannya dan memporak-poranda kehidupannya. Brian harus menuntut bayaran atas ini semua.

Hari semakin siang. Matahari memancarkan teriknya. Orang-orang yang berlalu lalang berusaha mencari tempat teduh. Mencari bayangan hitam. Tetapi, tidak berlaku semua itu untuk Brian. Ia cukup nyaman duduk dalam mobil keluaran eropa yang khusus dikirimkan untuknya. Dengan berbagai macam fasilitas modern dan teknologi terkini.

Nafasnya yang teratur, ia menunggu dengan sabar. Satu persatu matanya memindai orang-orang. Sampai di suatu titik, ia pun memutuskan untuk keluar dari mobil.

Di tempat lain, Shabrina mengeluarkan sobekan foto yang masih dapat dikenalnya. Ia ingat sekali foto ini, orang-orang pelabuhan juga sedikit yang mengenalnya. Sekarang ia sudah berada di sebuah gerbang komplek yang dijaga ketat oleh sejumlah orang berseragam.

"Ada apa anak kecil?" Shabrina mengangkat sobekan itu yang direnggut oleh pria berseragam.

"Darimana kau memperoleh foto ini, bocah?" tanyanya kasar.

"Namaku Shabrina!" Edsel menahan Shabrina yang hendak memukul pria di depannya.

"Kurasa kau salah orang. Tuan pasti memberi kabar jika ada pertemuan. Pergilah, kedatanganmu sia-sia, nak!" tegasnya. Shabrina tak mau mundur. Susah payah ia berjalan jauh-jauh dan orang berseragam ini dengan mudah mengusirnya.

A L I V E #WWS1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang