Gucci hitam yang membungkus tungkai jenjang tersingkap kala menapaki beberapa anak tangga. Debaran jantung tak biasa jadi teman setia. Kegiatan setiap pagi dihari kamis selalu berhasil membuat Chanyeol tersara bara. Resah, walaupun pada akhirnya raga akan berbalik, menyerah sebelum tangan berhasil terangkat.
"Eh? Park Chanyeol-ssi?"
Titik berat pandangan beralih pada pemilik suara. Adalah Jiyeon, wanita yang digadang-gadang bisa merubah sang anak.
"mau mengantar Guanlin sekolah, ya? Mari masuk dulu, kebetulan dia sedang sarapan."
Keterangan lanjutan memicu aliran lurus pragmatik dalam otak. Chanyeol belum lupa bagaimana keadaan dan reaksi si remaja terakhir kali dirinya bertandang. Kusut, sebab terlihat sekali habis berpesta. Suara naik entah berapa oktaf, mencaci, meminta untuk tak pernah mencampuri.
Sakit, apalagi saat Guanlin berseru tak punya orang tua.
"Ti-tidak," penolakan terbata meluncur begitu saja.
Kedua alis Jiyeon terangkat. "Lalu ada apa anda kemari?"
Chanyeol terdiam sesaat, memikirkan alasan apa yang akan diutarakan. "Hanya memeriksa bagaimana kau bekerja."
Beberapa orang melirik penuh minat. Pria dewasa kurang kerjaan yang selalu muncul setiap kamis akhirnya berbincang dengan seseorang. Aneh, laporan mengunjungi kerabat tapi tak pernah sekalipun masuk flat. Pernah sekali menyapa, sayangnya malah diabaikan. Para orang tua mengecapnya anak kurang ajar. Jangan lupa dijadikan sebagai stok bahan gunjingan ibu-ibu pula. Chanyeol tak tahu ia terkenal.
"Seperti yang telah dijelaskan, saya sudah berpengalaman menjaga anak jadi anda tidak perlu khawatir. Guanlin ada di tangan yang tepat," terang Jiyeon.
Chanyeol menyelipkan tangan ke dalam saku, "Bagaimana saya bisa tahu itu? menurut resume, tertulis anda belum pernah mengurus seorang remaja."
Tepat saat akan menjawab, petugas kebersihan melewati keduanya. Serta-merta Jiyeon menyusul dan menyerahkan kantong hitam yang digenggam. Chanyeol sedikit penasaran dengan isinya. Sedikit.
"Mau anak kecil atau remaja tetap saja anak, kan? saya akan menunjukkan bahwa saya bisa mengurus anak anda!" tanpa meminta izin terlebih dahulu, Jiyeon menarik tangan Canyeol hingga sempat terhuyung.
Batin menarik diri, belum siap menerima penolakan lagi. Selama ini cukup puas hanya dengan mengawasi. Perintah sana-sini demi keselamatan buah hati. Kini Chanyeol benci, raga kadang tak melulu selaras dengan hati. Pintu apartemen tertutup sebelum Chanyeol bisa berlari pergi.
Punggung tegap tertangkap mata. Rambut hitam legam, panjangnya masih sama seperti terakhir mereka berjumpa.
"Silahkan duduk Chanyeol-ssi," ujar Jiyeon seraya menarik kursi di sebrang Guanlin.
Sadar akan kehadiran tamu tak diundang, Guanlin mengadah. Onyx beradu pandang. Yang satu tajam, yang lainnya berpendar. Pupil sama-sama mengecil, menyampaikan rasa negatif dari diri masing-masing.
"Siapa yang mengizinkannya masuk kesini!" Guanlin tak kenal jeda, langsung melempar pisau tak kasat mata tepat di dada.
Dengan santainya Jiyeon mengisi gelas untuk di suguhkam pada Chanyeol, seolah ucapan Guanlin hanya rengekan alami. "Aku yang mengajaknya kesini. Lagipula nanti juga kalian akan sering makan bersama."
"Huh?!" Guanlin meminta penjelasan.
"Hari ini kan kau kau akan pindah ke rumah Chanyeol-ssi." Jiyeon sangat berhati-hati, kata ayah ataupun semua sinonimnya masih sensitif untuk telinga Guanlin.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Nanny
Fanfiction[Chanyeol x Jiyeon] Ditengah perjalanan hidup, seorang Park Jiyeon dipertemukan dengan hot daddy dan... anak nakalnya. Cover by @jiyeonpark12_