Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Apa kita akan menjemput Guanlin, Pak?"
Chanyeol bergeming, sibuk dengan benang kusut pikiran untuk yang kesekian kali. Di depan sana mentari kian tenggelam di cakrawala. Bulu mata lentik bergerak naik turun seiring bertambahnya intensitas kedipan. Dipaksa, oleh biasan cahaya kemerahan yang menyilaukan.
Jiyeon sendiri mulai jengah. Lima belas menit berlalu tanpa kata ataupun aksi sejak mobil berhenti. Diam, diselimuti kabut keheningan yang kian menggumpal.
"Sekertarisku bilang Guanlin memukuli temannya," Sudah pening mencari jalan keluar, Chanyeol akhirnya memutuskan untuk berbagi pemikiran. "dia bilang kali ini orang tua harus benar-benar datang."
"Mwo?! kenapa tuan tidak bilang dari tadi!" ucap Jiyeon seraya melepas seatbelt. "mari kita temui gurunya."
Angin sore hari serta-merta menerpa kulit. Jiyeon tak habis pikir, bisa-bisanya Chanyeol membuang waktu disaat Guanlin membutuhkan dirinya. Pantas saja si remaja bersikap tak acuh, bahkan lebih memilih hidup sendiri. Tak boleh terus begini. Chanyeol harus melempar sedikit demi sedikit ego yang tak sadar sudah mencekik diri.
"Ayo, Tuan!" ajak Jiyeon lagi saat Chanyeol belum juga turun dari mobil.
"Ak-ku tidak bisa," bisik Chanyeol. "tiap kali guru meminta orang tua Guanlin untuk ke sekolah, saya selalu meminta bantuan Suho-hyung untuk pergi sebagai wali. Dia akan segera datang."
Jiyeon menatap Chanyeol tak percaya. "Irene bilang Suho oppa sedang ada meeting di Busan dan baru akan kembali pukul enam sore! Apa kita harus tetap menunggu satu jam lagi?!" jika saja Jiyeon tidak ingat Chanyeol adalah majikannya, entah apa yang akan terjadi.
Chanyeol menggeleng. "Tidak ada pilihan lain,"
Jiyeon menghirup napas dalam-dalam sebelum dikeluarkan dengan kasar. "Biar saya saja yang kesana." putus Jiyeon yang tak menyangka bahwa rasa takut Chanyeol akan sebesar ini.
"Tapi Jiyeon-ssi―"
Terlambat. Jiyeon sudah lebih dulu melenggang pergi.
Lagi, Chanyeol diperbudak oleh rasa takut, menghasut dengan suara lantang. Kaki melemah, perut mual, dan lidah kelu menjadi efek yang ditimbulkan. Sang sahabat pernah berujar bahwa tidak ada yang perlu ditakuti selain ketakutan itu sendiri. Sayang, berapa kalipun mencoba, Chanyeol tak bisa membungkam desakan yang menuntutnya.
Sepuluh menit.
Duapuluh menit.
Tigapuluh menit berlalu namun tak ada tanda-tanda Jiyeon dan Guanlin keluar.
Kecemasan terus menumpuk, sebab hati dipaksa untuk beku. Chanyeol membohongi diri, hidup dalam ketidaktahuan yang membingungkan. Dia tidak bisa melakukan apapun selain bernapas, berjalan, dan memikirkan semuanya sedikit demi sedikit.