Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Detak jantung kembali normal, tangan pun sudah tak berkeringat. Kelegaan mengusap semua sendi yang sempat kaku karna tegang. Chanyeol menarik napas pelan. Dua rasa terbagi sama besar, bangga dan sesal. Bangga, sebab mengetahui sang anak bukanlah pribadi kejam, dan Chanyeol menyesal telah berburuk sangka diawal.
Chanyeol memutar tubuh, bersiap untuk pergi sebelum Jiyeon dan Guanlin keluar.
"Kebimbangan hanya akan membuat anda celaka, Chanyeol-ssi."
Perkataan Jiyeon seketika membuat Chanyeol berhenti. Akhir-akhir ini benak dengan rajin memberikan sentilan kecil, sudah seharusnya perubahan dilakukan. Sudah cukup tujuh belas tahun terbuang.
Tangan mengepal keras. Permulaan akan menjadi fase terberat. Kendati demikian, seandainya tak kunjung memulai, waktu pun pasti enggan menuntun pada kebahagiaan. Chanyeol bukan remaja belasan lagi. Pelajaran hidup yang telah terlewati pasti akan membantu menguatkan untuk tidak menyerah ditengah jalan.
Chanyeol harus bergerak maju. Karna apa yang dimulai, haruslah diselesaikan.
"Chanyeol-ssi?"
Chanyeol memfokuskan pandangan pada sumber suara. Sementara sibuk dengan berbagai pikiran, dirinya sama sekali tak menyadari jika Jiyeon telah keluar bersama Guanlin yang mengekor di belakang.
"Sudah selesai?" tanya Chanyeol, berusaha mengabaikan jantung yang bertalu cepat didada.
"Sudah," jawab Jiyeon singkat seraya bergeser beberapa langkah dari hadapan Chanyeol.
Chanyeol mengambil langkah mantap sebelum berhenti di depan Guanlin. "Kerja bagus. Aku bangga padamu," ujarnya dengan tangan kanan yang mengacak pelan rambut Guanlin.
Dengan cepat pula Chanyeol berbalik, "Sudah gelap, sebaiknya kita segera pulang," ajaknya.
Melihat adegan kaku tersebut, rasanya Jiyeon ingin tertawa sekeras mungkin. Gerakan robot masih kalah bagus jika dibandingkan dengan Chanyeol.
Akan tetapi, saat melihat reaksi Guanlin dengan kedua sudut pipi yang berkedut, pandangan Jiyeon melembut.
"Apa Pak tua itu sudah tak waras?" tanya Guanlin.
Jiyeon mengendikkan bahu, "Entahlah, mungkin tadi terbentur sesuatu," jawabnya,"ayo pergi. Kurasa dia pasti sudah sampai di parkiran."
Guanlin mengikuti dengan langkah pelan. Baru saja kemarin mencibir teman sekelas yang mengatakan bahwa hidup itu penuh kejutan, esoknya Guanlin dibuat tercengang. Berkelahi, dapat ibu dadakan, hingga pujian yang selama ini hati kecilnya inginkan.
Mengira semua hanyalah mimpi, Guanlin mencubil pinggangnya.
Sakit. Berati bukan mimpi.
Ekspresi Guanlin seketika kembali datar. Tak mungkin rasanya Chanyeol tiba-tiba bersikap baik. Pasti ada yang disembunyikan. Pasti. Otak kecilnya kini tengah berusaha keras mencari petunjuk.