Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Minggu harusnya dipakai untuk bermalas-malasan, bukannya membuat janji dadakan. Sejujurnya Jiyeon lelah. Tak menyangka sebuah kebohongan kecil bisa sangat menguras emosi dan tenaga. Namun, jika di penghujung hari mengingat kembali bonus yang masuk ke tabungan, Jiyeon rela saja bila Chanyeol meminta salah satu ginjal.
Eh, jangan!
"Jiyeon!"
Lambaian tangan terpindai. Irene, si perusak hari Jiyeon di depan sana tersenyum riang. Mencurigakan.
"Kenapa harus bertemu di perusahaan suamimu?" tanya Jiyeon tanpa sapa.
Berbeda dengan Chanyeol, perusahaan Suho bergerak di ranah percetakan, lebih tepatnya sebuah majalah terkenal. Melihat orang berlalu lalang, pakaian menjadi pusat perhatian. Jiyeon merasa seperti gelandangan, hanya kaos putih polos beserta jeans belel kebesaran. Parahnya menenteng blazer dekil yang belum juga dicuci selama sepekan.
"Ikut dulu saja!" ujar Irene seraya menarik tangan Jiyeon.
Selama perjalanan, iris sempat melirik setelan. Keluaran terbaru limited edition yang Jiyeon lihat di iklan. Kadang Jiyeon iri dengan Irene yang berhasil mendapatkan pengusaha kaya raya, harta mereka tidak akan habis meskipun sudah lewat tujuh turunan.
"Eh, Pak Chanyeol?"
"Ish!" tepukan di bahu membuat Jiyeon sedikit terhuyung, "biasakanlah memanggil Chanyeol oppa, nanti orang bisa curiga jika kau memanggilnya Bapak!"
Jiyeon mengerutkan dahi. Irene cerewet sekali. Pasti kesal pada Jiyeon yang tak kunjung menjelaskan perihal kesalahpahaman berita. Bukan lupa, Jiyeon hanya terlalu sibuk mengurus dua panda. Selama seminggu ini anehnya selalu kesiangan. Para pembantu sempat memperingatkan untuk diam—sebab ada yang pernah dipecat setelah melewati batas privasi pekerja dan majikan. Entahlah. Mungkin hanya rumor. Buktinya Jiyeon masih bekerja sampai sekarang.
"Jika tahu anda juga kesini padahal tadi saya ikut saja," dengan perlahan Jiyeon mengambil tempat di samping Chanyeol, sedangkan Irene tentu bersama sang suami. Jiyeon hanya canggung saja apabila harus duduk di sofa tunggal.
Tangan Jiyeon tertahan kala hendak berdiri, "Suho butuh bantuan kita,"
Helaan nafas terhembus seiring hormon endorphin yang berusaha dibentuk. Setelah terjebak bersama duda dan anak remaja nakalnya, Jiyeon jadi lebih waspada terhadap pasutri Kim.
"Jadi?" ucap Jiyeon.
"Jadi alasan kenapa aku membawa kalian terpisah adalah karna kau, Jiyeon. Kau pasti langsung curiga," jelas Suho dengan tangan bertaut gugup.
Jiyeon menipiskan bibir, "Seharusnya bertemu di kafe jika tak ingin dicurigai,"
"Tidak ada waktu!" Suho mengibaskan tangan, "jadi begini, setiap majalah pasti harus terus diperbarui mengikuti trend dan berita hangat saat ini—"