03. Bandung Membawa Cerita

1.9K 295 26
                                    

Bandung menjadi tempat tujuan Suga membawa Wendy pergi.

Wendy tak menolak, ia suka Bandung. Meskipun mereka beberapa kali terkena macet dan matahari sudah berlabuh karena terlalu lelah menyinari bumi, tetap saja, Bandung tak seburuk Jakarta. Berbeda dengan Jakarta yang sudah makin ramai, Bandung menyimpan sudut yang bisa membuat Wendy tenang.

Langit yang makin gelap tak menyurutkan kota ini menjadi kota yang sepi, justru semakin larut terasa makin ramai dan hidup. Mobil Suga melaju, membelah Bandung dan masuk lebih dalam hingga masuk daerah lebih tinggi dan sepi. Ciumbuleuit.

Di jalan yang makin ke atas itu mobil Suga berhenti di depan sebuah rumah yang disulap menjadi kedai 24 jam yang menyajikan nasi goreng, mie tek-tek, soto, bubur kacang, dan segala jenis kopi dan susu seduh.

Suga yang sejak di jalan tak banyak bertanya, akhirnya bersuara juga. "Mau pesen apa?"

Wendy yang baru saja duduk di bangku panjang yang menghadapkannya langsung dengan dapur kecil yang digunakan untuk memasak itu melirik Suga. "Nasi goreng, kecapnya banyakin."

Suga mengangguk. Ia mengambil tempat di samping Wendy lalu sedikit berteriak. "Pak, nasi goreng satu, kecapnya banyakin. Bubur kacang jangan pake ketan, satu. Santennya banyakin yah, Pak. Makan di sini."

Lelaki bertubuh gempal dengan celemek yang baru saja menuangkan nasi goreng dari penggoreng besar itu berbalik. Tersenyum ke arah Suga lalu mengangguk. "Oke, Kang. Tunggu benar yah."

Suga tak membalas. Ia hanya duduk diam lalu memperhatikan bapak bertubuh gempal yang meladanginya tadi menuangkan bubur kacang ke dalam mangkuk lalu menambahkan santan hinggal meluber keluar dari mangkuknya. Tak sampai semenit, pesanan Suga sampai di depan orangnya.

"Makasih," ucap Suga yang dibalas anggukan ramah dari bapak gempal.

"Santennya, gak kebanyakan?" Wendy yang tak tahan untuk tidak bertanya itu akhirnya mengeluarkan suara juga.

Suga terlihat tak terganggu sama sekali dengan ucapan Wendy. Ia menelan sesendok bubur kacangnya lalu melirik Wendy. "Bubur kacang di sini kemanisan. Jadi perlu santen banyak biar bisa masuk mulut gue."

"Lo gak suka manis?"

Suga mengangguk.

Wendy ikutan mengangguk. Suga memang tipe orang yang mengerti arah pertanyaan Wendy, makannya, bicara dengan Suga bisa terasa sangat singkat. Sedangkan Wendy sendiri adalah tipe orang yang bertanya sedikit-sedikit dan gak langsung ke inti. Makannya, ketika dihadapkan dengan Suga yang malas berbasa-basi dan pertanyaannya (yang sebenarnya langsung bertanya ke inti tapi Wendy tak pernah mengerti) Wendy tiba-tiba menjadi orang bego dan lama sekali berpikir.

"Lo gak takut?" tanya Suga tiba-tiba. Ia sudah menandaskan mangkuk bubur kacangnya dan siap memesan nasi goreng tanpa kecapnya.

Nah, kan. Pertanyaannya mulai lagi.

Wendy menautkan alisnya bingung. "Takut apa?"

"Gue bawa pergi."

"Ohh." Wendy mengangguk mengerti lalu terlihat berpikir.

"Takut gak?"

"Enggak."

Kali ini Suga yang menautkan alisnya bingung. Ia sedikit menyorongkan badannya agar bisa melihat Wendy lebih jelas. "Kenapa?"

Wendy mengendikan bahunya sambil sedikit memiringkan kepalanya. "Gue juga gak tau. Gue rasa lo orang yang baik. Jadi gue gak ngerasa takut."

Suga merasa sedikit tertegun. Wajahnya yang datar mungkin tak menampilkan ekspresi apapun, tapi hatinya sedikit menghangat. Entah kenapa, gadis satu ini memang berbeda.

My Broken Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang