05. Bubur Untuk Kata Pulang

1.4K 276 10
                                    

Malam menyambut, studio Suga yang biasanya sepi kini tiba-tiba ramai oleh kehadiran Wendy yang tak berhenti mondar-mandir ke sana kemari. Perempuan berambut panjang itu baru saja keluar dari pantry kecil yang tersedia di studio Suga dengan mambawa baskom berisi air dengan handuk yang entah bagaimana bisa ada tersampir di dalam baskom itu. Wendy menyimpan baskom itu di meja dekat sofa tempat Suga berbaring. Lalu Wendy kembali lagi ke pantry. Saat keluar, ia sudah membawa segelas teh manis hangat, segelas air putih, mangkuk berisi bubur dan parasetamol.

"Bangun dulu bentar," pinta Wendy.

Suga menurut. Ia membawa tubuhnya bersandar dan duduk tegak. Pening seketika menyerang kepalanya.

"Pusingkan? Demam lo tuh tinggi banget tau. Nih minum." Wendy menyodorkan gelas teh hangat. Suga meminumnya, lalu mengembalikan gelasnya kepada Wendy.

"Mau makan sendiri atau gue suapin?" tanya Wendy ketika menunjuk mangkuk buburnya.

Melihat bubur di depannya, bukannya makan, Suga malah merasa aneh. Seingatnya, di dalam pantry hanya ada beberapa makanan instan dengan susu kotak di dalam kulkas. Suga tak ingat ia pernah membeli bubur instan ataupun menyimpannya dalam kulkas. "Lo tadi keluar?"

Wendy mengangguk. Ia menyimpan mangkuk itu di atas pangkuan Suga. Hangat dari mangkuk bubur itu menjalar ke seluruh paha Suga. "Kalo lo cuman makan mie atau sereal doang gimana mau sembuh. Gue tadi liat kedai bubur sebelum ke sini, jadi gue beliin buat lo. Sekarang makan itu dulu. Makan sendiri bisa kan?"

Suga mengangguk. Ia mengambil mangku dalam pangkuannya lalu menyuap masuk satu sendok bubur ke dalam mulut. Terasa gurih. Suga melirik lagi buburnya. Tak ada kecap di sana. hanya ada bubur biasa dengan tambahan pelengkap. Suga kembali melirik Wendy yang tengah berkutat dengan baskom dan anduk di depannya.

"Lo masih inget gue gak suka manis?" tanya Suga.

Perempuan itu menengadah lalu mengangguk. Anduknya yang baru saja ia peras ia sampirkan kembali di pinggir baskom. "Waktu mesen nasi goreng kan lo gak pake kecap. Pas mesen bubur kacang juga santennya malah dibanyakin. Jadi tadi pas beli bubur, gue sengaja pisah kecapnya. Takutnya lo malah gak suka pake kecap lagi. Tapi kalo lo mau kecapnya, gue bisa ambilin di pantry."

"Gak usah," tolak Suga. "Gue lebih suka gini. Makasih."

Wendy tersenyum. "Bagus. Kalo gitu abisin."

5 menit kemudian, Suga menyimpan mangkuk buburnya yang sudah habis ke meja, mengambil gelas teh manis yang masih tersisa setengah lalu menandaskannya. Selanjutnya, Wendy menyodorkan kembali gelas air putih dan obat parasetamol. Suga meminum obat yang di sodorkan Wendy lalu kembali berbaring. Kepalanya berulah lagi setelah beres makan.

"Tidur aja kalo gak kuat," ucap Wendy. Gadis itu lalu mengambil selimut di ujung sofa dan menyelimuti Suga. Tak lupa, Wendy juga menaruh handuk yang sudah ia basahkan di kening Suga.

Sesaat, Suga merasa damai ketika rasa dingin dari hancuk menyapa keningnya yang hangat. Sudah lama sejak terakhir kali Suga merasakan ada yang merawatnya setelaten ini ketika sakit. Terakhir kali Suga sakit ketika SD, bundanya khawatir setengah mati dan menyuruh Suga untuk tidak sekolah selama 2 hari. Mendapati perlakuan seperti ini sesudah dewasa tentu saja terasa berbeda. Suga merasa nyaman diberi perhatian seperti ini oleh Wendy.

"Lo tidur di bawah? Gak dingin?" tanya Suga yang melihat Wendy sudah mengambil selimut satu lagi dan merebahkannya di lantai, tepat di samping sofa Suga.

"Gue gak tidur kok. Gue masih perlu ganti kompresan lo kalo udah kering," jawab Wendy.

Suga merasa tak enak. Iapun bangun dari tidurnya namun cepat-cepat Wendy tahan. "Gue bakal baik-baik aja, oke. Sekarang lo yang tidur. Jangan banyak mikir. Tidur aja."

Melihat Suga kembali tertidur, Wendy tersenyum lega. Ia kembali duduk di posisinya dan keheningan mulai menyapa.

"Kenapa lo gak sekolah seminggu?" tanya Wendy. Beberapa kali mengobrol dengan Suga, membuat Wendy mengerti satu hal. Suga tidak akan pernah menceritakan apapun kecuali seseorang menanyakan soal itu.

"Karena gue lagi ada kerjaan di Bandung,"jawab Suga.

"Bukan karena di usir sama ayah lo?"

"Lo tau dari Bunda?"

Wendy mendahem. "Tadi Bunda lo ke sekolah. Kita ketemu dan Bunda lo yang cerita katanya lo di usir."

Suga mengangguk mengerti. "Gue gak diusir. Ayah cuman nyuruh gue pergi."

"Terus kenapa gak pulang lagi? Bunda lo khawatir lo gak ada kabar selama seminggu."

"Gue lagi ngerjain projek baru. Bulan depan gue ada manggung sama anak-anak, kita mau bawain lagi baru. Makannya seminggu ini gue ngerjain semuanya dan tadi baru beres."

Hening kembali menyelimuti.

"Lo kenapa tau gue di sini?" Kali ini Suga yang bertanya.

"Gue tau dari Chanyeol."

"Kanapa lo ke sini?"

"Karena gue gak bisa berhenti mikirin keadaan lo. Dan saat liat lo tadi, gue bersyukur karena gue dateng ke sini."

Mendengar penjelasan Wendy, Suga tertegun. Hatinya memompa dan membuncah. Ia senang. Entah untuk keberapa kalinya, Wendy selalu bisa membuat Suga jatuh dengan hal-hal kecil macam ini.

"Ga," panggil Wendy kecil. Kesadaran Suga yang sudah di ambang batas membuat lelaki itu hanya berdahem kecil.

"Hmm?"

"Pulang yah. Bunda lo khawatir banget. Tadi dia juga bilang ayah lo nyuruh lo pulang."

Suga berdahem sekali lagi. "Besok kita pulang."

Wendy mengangguk. Namun, Suga tak melihat anggukan itu. Selanjutnya mereka kembali diam. Namun kali ini, Suga maupun Wendy tak merusak acara diam ini. Mereka menikmati saja.

Di suasana diam ini, dengan kesadaran tinggal setengah, Suga berusaha mengulang kembali kedatangan Wendy. Mengulang kembali bagaimana detik-detik Wendy menangis. Mengulai bagaimana Wendy bisa menangis untuk rasa sakitnya.

Sesaat, tangisan Wendy membuat Suga sadar. Air mata Wendy yang menggantikan air matanya, membuat Suga seperti diam di tampat. Ia tak menyadari jika selama ini dirinya merasa kesepian. Iapun baru sadar, untuk sesaat, Suga ingin bisa dipeluk seperti tadi. Membagi rasa sakit bersama tanpa perlu berucap. Seperti mengobrol dengan pelukan.

Setidaknya dengan tubuh demam dan iringan tangis Wendy, Suga akhirnya menyadari. Dirinya sudah terlalu lama melarikan diri. Di perjalanannya melarikan diri itu, sadar atau tidak, Suga malah menyakiti dirinya sendiri. Seiring berjalananya waktu, lama-lama Suga malah terbiasa dan akhirnya lupa, jika dirinya sakit. Tapi sekarang Suga kembali diingatkan, dirinya perlu bangun, perlu berhenti menyakiti dan perlu kembali pada semula. Tempatnya memilih antara impian dan keinginan ayahnya.



tbc. 

My Broken Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang