10. Menyadari (END)

1.7K 273 49
                                    

Pagi itu sebelum konser Suga, Wendy mendapatkan gambaran baru tentang keluarga Suga. Wendy mungkin sudah pernah bertemu Bunda Suga saat di sekolah (tempo hari ketika Suga bolos seminggu), tapi mendapati kedua orang tua Suga berjalan bergandengan tangan memasuki kafe tempat mereka bertemu membuat semuanya seakan berbeda.

Bunda Suga terlihat seperti wanita paling bahagia ketika menggenggam tangan Suaminya memasuki kafe. Wajah dengan kulit putih nyaris pucat yang Wendy tahu diturunkan pada Suga itu masih terlihat kontras dengan warna bola mata dan rambutnya yang hitam. Senyumnya lebar denga gigi rapih, berbeda dengan Suga yang nyaris tak pernah tersenyum.

Di sebelahnya, masih berpegangan tangan dengan Bunda Suga, Ayah Suga terlihat berkarisma dengan kemeja hitam yang membalut kulit agak coklatnya. Wajah Ayah Suga yang terlihat dingin dengan rahang tegas dan sorot matanya yang dapat memikat siapapun persis seperti Suga. Melihatnya saja Wendy seperti bisa melihat gambaran Suga jika sudah tua nanti akan seperti apa.

Melihat Ayah dan Bunda Suga juga membuat Wendy sadar dari mana Suga memiliki kulit pucat yang halus dan sorot mata serta rahang tegasnya. Suga seperti campuran antara Ayah dan Bundanya. Mungkin jika mereka bertiga bersanding bersama, Wendy akan merasa terperangah dan takjub dalam waktu bersamaan. Keluarga Suga terlihat terlalu sempurna.

Ayah dan Bunda Suga berjalan mendekati meja Wendy. "Halo, Wendy," sapa Bunda Suga.

Lagi, cara Bunda Suga menyapa Wendy masih terdengar seperti pertama kali mereka bertemu. Halus dan manis, padahal umur Bunda Suga pasti sama dengan Mamahnya, tapi kenapa mendengar suara Bunda Suga Wendy tak terlalu yakin jika perempuan di hadapannya itu sudah menginjak dewasa yah?

"Halo, Tante." Wendy sedikit melirik ke belakang, tempat di mana Ayah Suga berdiri dengan kaca matanya. "Halo, Om."

Lelaki itu hanya mengangguk seperlunya.

Melihat itu, Wendy semakin yakin jika Suga adalah hasil copy jadi dari ayahnya. Persis sekali. Bagaimana cara mereka berbicara, berlaku dan berjalan. Mereka seakan melakukannya seperlunya, seadanya dan secukupnya. Wendy juga curiga, jika nanti ia mengobrol dengan Ayah Suga apa semua akan terlihat singkat dan padat juga.

"Jadi ada apa?" Ayah Suga sudah memberikan pertanyaan pertamanya.

Tuh kan, baru saja Wendy bilang.

Wendy tersenyum kecil dan menatap Ayah Suga. Terlalu sering mengobrol serba singkat dengan Suga membuat Wendy terbiasa dengan pertanyaan macam ini. "Duduk dulu, Om."

Bunda Suga terlihat tertawa kecil. "Duduk dulu, Ayah. Kasian Wendy udah kamu kasih pertanyaan kaya gitu. Persis Suga banget."

"Hehe." Wendy meringis kecil.

Mereka berduapun mengambil tempat di sebelah kanan Wendy. Posisi duduk mereka berada di meja persegi panjang dengan Wendy yang duduk di sisi yang lebih kecil, sedangkan sisi kanan Wendy sudah diisi oleh Papah dan Mamahnya.

Bunda Suga terlihat membetulkan posisi duduknya, namun ketika matanya menatap Mamah Wendy yang duduk tepat di sebrangnya, matanya tiba-tiba mengernyit. Selanjutnya mulutnya membulat dan berteriak kecil. "Eh, jeng!"

Mamah Wendy yang ikutan mengernyit langsung ikutan tersenyum cerah. "Eh, jeng. Apa kabar?"

Selanjutnya kedua wanita itu saling berpelukan, berbagi cerita kecil seperti teman masa SMA yang tiba-tiba bertemu. Wendy sedikit terperangah ketika mendengar apa yang mereka pertanyakan.

"Astaga, kita ketemu lagi. Apa kabar?" Bunda Suga bukannya mengenalkan diri malah berdiri dari duduknya dan memberikan pelukan hangat untuk Mamah Wendy.

My Broken Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang