04. Kembali Ke Bandung

1.6K 293 40
                                    

Setelah acara kabur dadakan dan hanya mengabari lewat pesan singkat itu, Wendy tak dapat teguran dari papah maupun mamahnya. Sepasang paruh baya yang menjadi orang tua Wendy itu malah menjahili anaknya dan tidak mempermasalahkan hal ini. Lagi pula mereka melakukan hal perjodohan ini karena tak pernah melihat Wendy dekat dengan seorang lelaki, tapi ketika mendapati kabar Wendy kabur, apalagi dengan Suga, mereka malah senang. Katanya mereka tak masalah jika Suga yang membawa kabur Wendy. Sepertinya, mereka setuju-setuju saja dengan Suga.

Sebulan kemudianpun, Suga dan Wendy menjalani semuanya biasa saja. Ketika berpapasan di koridor, Wendy hanya tersenyum dan Suga akan melirik Wendy sedikit lalu mengangguk kecil. Cara Suga menyapa Wendy mungkin terlihat cukup dingin, tapi akhir-akhir ini Wendy mengerti, itu memang cara Suga menyapa seseorang. Mukanya yang terkesan dingin itu sebenarnya tak benar-benar dingin. Wajah itu hanya selalu datar dan tak berekspresi, ditambah lagi dengan cara bicara Suga yang irit dan langsung ke inti, itu yang membuat Suga terkesan dingin.

Jadi, presepsi kalau Suga dingin itu sebenarnya tidak benar bagi Wendy. Contoh kecilnya saat kemarin, Suga yang tiba-tiba memberi hoodie kepada Wendy, memesankan nasi goreng dengan bertanya terlebih dahulu, dan cara Suga membukakan pintu mobil untuk Wendy. Semua itu tak terkesan dingin sama sekali. Suga memang tipe orang yang tak suka menunjukan perasaannya, makannya, semua gerak-geriknya selalu tiba-tiba.

Setelah Wendy tahu begitu banyak tentang Suga (tanpa ia sadar) dari menganalisa sendiri, Wendy jadi selalu mencari keberadaan Suga tanpa perlu diperintah lagi. Dan ketika Wendy tak melihat sosok Suga di manapun selama seminggu di sekolah, Wendy merasa tak nyaman. Hatinya gusar tak jelas, gelisah namun Wendy juga tak mengerti kenapa. Cerita Suga kemarin tiba-tiba terbayang.

"Heh!" Joy tau-tau membuat Wendy sadar. Wendy yang sudah kembali berpijak pada dunia nyata itu akhirnya menengadah, menatap Joy yang berdiri di samping bangkunya.

"Ada apa?"

"Dicariin Bu Teja lo. Katanya ada lomba sains tuh," ucap Joy seraya menunjuk poster lomba di depan kelas. "Lo kenapa sih? Akhir-akhir ini gue liat lo gelisah mulu. Lagi jatuh cinta lo?"

Wendy bangkit dari kursinya dan sedikit menggeser tubuh Joy agar memberinya jalan. "Kalau gue jatuh cinta gue gak bakal gelisah kali. Udah ah, ke ruang guru dulu. Nanti kalo gue belum masuk pas istirahat udah abis, bilangin, lagi konsul sama Bu Teja gitu."

Tanpa menunggu persetujuan Joy, Wendy sudah pergi duluan. Melangkah ke ruang guru yang berada di lantai 2, tepat di atas lobi sekolah. Karena kelasnya (dan kelas 12 yang lain) berada di lantai 1, Wendy jadi berniat untuk melewati lobi dan baru naik ke ruang guru lewat tangga di lobi. Tapi baru juga menginjakkan kaki di lobi sekolah, Wendy sudah dicegat duluan oleh seorang wanita paruh baya.

"Permisi, kalau ruang BK di mana yah?" Wanita itu bertanya sopan. Wendy yang melihatnya terpana sendiri. Kulitnya yang putih, terlalu putih hingga terlihat kontras dengan warna rambutnya yang hitam itu membuat Wendy sedikit iri, padahal Wendy yakin umurnya tak beda jauh degan mamahnya.

Tapi tunggu, Wendy terasa familiar dengan wajah dan tutur bicaranya yang sopan. Apa lagi dengan senyum dan matanya yang hitam.

"Permisi." Ibu itu sekali lagi menyadarkan Wendy.

"Oh, maaf. Ruang BK nya ada di sana. Ibu ngikutin koridor ini aja, pas di ujung, belok kanan, terus nanti ada tulisannya ruang BK," balas Wendy menjelaskan. Namun ibu itu terlihat bingun, akhirnya Wendy menghela napas dan mengalah. "Biar saya anterin aja, Bu."

"Eh, makasih," balas ibu berkulit putih itu ramah.

Akirnya, Wendy jalan terlebih dahulu dengan ibu berkulit putih itu mengekori di belakangnya. Sesekal Wendy melihat ke belakang, takut ibu itu tertinggal atau tak mengikutinya. Saat berada di depan ruang BK, mereka berhenti.

My Broken Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang