Wendy tau, masalah Suga bukan permainan bodoh yang bisa dimainkan oleh seorang remaja yang bahkan belum lulus SMA. Masalah Suga adalah masalah besar dengan masa depan sebagai taruhannya. Wendy juga tahu, keinginannya untuk membantu Suga saat ini hanya bisa dibilang omong kosong. Apa yang bisa ia lakukan untuk membuat seorang lelaki dewasa seumur papahnya mengerti apa yang ia bilang? Dari sisi manapun Wendy tahu ia adalah bocah ingusan yang ingin berhadapan dengan macan yang siap memakannya hidup-hidup.
Tapi, karena ia tahu ia akan berhadapan dengan singa yang akan memakannya hidup-hidup di detik berikutnya, ia jadi tahu apa yang harus ia lakukan. Jika singa kelaparan akan memakan buruannya, Wendy perlu singa lain yang sama lapar dan akan menjaganya agar tidak dimakan hidup-hidup. Untuk urusan satu itu, Wendy memiliki satu kandidat terbaik. Papahnya.
Papahnya mungkin tidak sejahat singa kelapan yang siap melahap siapa saja yang berjalan di depannya. Tapi untuk urusan berhadapan dengan singa lapar, papahnya jauh kompeten daripada Wendy.
Maka dari itu, setelah berlama-lama membiarkan otaknya yang kemarin masih diam di tempat karena mendapat shock dadakan, Wendy berpikir apa yang harus ia lakukan. Setelah tahu apa yang Mamahnya ucapkan, secepat kilat Wendy berlari ke lantai bawah. Menuruni tangga tergesa seperti habis dikejar rentenir uang yang lebih seram dari singa kelaparan. Setelah sampai di anak tangga paling bawahpun, semuanya belum beres. Wendy masih perlu teriak memanggil papahnya dengan senyum yang terlalu lebar.
"Papah!"
Lelaki di ujung meja makan yang baru akan menyuapkan setangkup rotinya ke dalam mulut itu, berhenti. Rotinya mengambang di udara. Matanya melirik biang keributan yang mengganggu sarapan paginya. Tapi alih-alih marah, lelaki itu malah tersenyum jenaka dan menaruh kembali setengkup roti berselai kacang itu ke piring. "Ada apa, Sayang?"
Papah Wendy tersenyum sambil menatap anak gadisnya yang terilihat seperti baru menerima lotre. Mata coklat gelapnya tiba-tiba berbinar berlebihan, membuat paginya yang sudah terang oleh matahari jadi tambah terang. Sepertinya, anak gadisnya itu baru saja menemukan alasannya untuk kembali bangkit setelah semalaman menangis.
Tanpa sadar, Papah Wendy ikut tersenyum.
"Pah," panggil Wendy sambil mengambil napasnya. Ia berjalan mendekati meja makan dan mengambil tempat di samping Papah. "Wendy mau minta bantuan."
Papah Wendy mencondongkan sedikit tubuhnya ke arah Wendy. Memberi isyarat jika ia penasaran dengan bantuan apa yang anak gadisnya butuhkan. "Bantuan apa?"
"Wendy mau minta tolong ke Papah buat bantuin Suga," jelas Wendy. Wajahnya menatap langsung ke mata Papahnya. Berusaha meyakinkan jika ini bukanlah bantuan biasa yang sedang di minta anak remaja untuk dibelikan baju keluaran terbaru.
Seakan mengerti, Papah Wendy tersenyum lagi. Kali ini senyumnya lebih seperti memberi pengertian. Ia tahu, anak gadisnya kali ini tidak sedang berbicara sebagai Wendy, anak gadisnya yang baru kemarin dapet KTP. Kali ini, di hadapannya, Wendy tengah menjadi Wendy yang baru saja dewasa. Baru saja menerima jika ia tak bisa beridri dan membantu orang lain sendiri. Ini terlalu luar biasa untuk dilewatkannya tanpa merasa bangga.
"Oke," jawab Papah Wendy sambil sedikit menimang-nimang. "Kamu mau Papah bantuin gimana?"
Senyum di wajah Wendy terbit lagi. Wajahnya yang tadi terlihat serius kini meluruh. Senyum ceri dan mata berbinarnya kembali lagi. "Nanti Wendy bicarain lagi sama Papah. Wendy butuh memastikan satu hal dulu. Yang penting Papah udah mau bantu Wendy."
Papah Wendy tersenyum kecil. "Tapi Papah gak bisa bantuin sekarang."
Mendengarnya membuat Wendy terdiam seketika. Wajahnya tiba-tiba kehilangan binarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Broken Bad Boy
Hayran KurguSuga bengal. Satu sekolah tahu. Tapi saat Suga hancur, cuman Wendy yang tahu. start; 16 mei 2018 finish; 31 Mei 2018