07. Usai yang Menyakitkan

1.4K 255 4
                                    

Malam ini harusnya Wendy sudah tidur, masuk ke dalam selimutnya dan berpelukan bersama boneka kesayangannya. Tapi tuntutan dan tanggung jawabnya sebagai siswa kelas 12 IPA 1(yang terkenal sebagai kelas kebangga sekolah) membuatnya harus terjaga untuk mengerjakan modul soal untuk ulangan besok. Padahal sekarang sudah jam 1 malam dan saat ini baru pertengahan semester 1. Tapi sekolah memang terlalu baik dengan memberi ulangan yang membuat kepala Wendy serasa mau meledak beberapa saat lagi.

Wendy menutup bukunya dan menghembuskan napasnya lelah. Pipinya ia rebahkan di atas meja belajar dengan tumpukan kertas. Sebenarnya Wendy memang sudah biasa terjaga hingga pagi untuk belajar, namun entah kenapa sekarang Wendy merasa lelah saja. Terlebih lagi obrolan Wendy dengan Suga 5 jam yang lalu membuat Wendy tak bisa berhenti memikirkan lelaki dengan kulit terlalu putih itu. Selama sebulan penuh lelaki itu terus melarikan diri untuk memilih, dan tadi akhirnya ia bisa kembali untuk memilih. Apa lelaki itu baik-baik saja?

Detik berikutnya, bunyi getaran ponsel Wendy yang beradu dengan permukaan meja belajar membuat Wendy sedikit terkejut. Wendy kembali duduk tegak dan mengambil ponselnya di ujung meja belajar. Siapa yang menghubunginya pagi buta begini?

Line.

Suga: Kenapa blm tidur?

Alis Wendy bertautan. Aneh. Kenapa Suga tau Wendy masih bangun? Padahal Suga tidak melihat –mata Wendy membulat. Melihat!

Ia buru-buru melangkah menuju jendela di sebrang meja belajarnya yang mengarah langsung ke jalanan depan rumah. Wendy menyibak gorden jendelanya dan matanya tercetak. Di sana, di depan rumahnya, terlihat Suga tengah bersandar pada motonya dan menatap Wendy langsung. Jantung Wendy serasa berhenti berdetak beberapa saat ketika melihat sorot mata Suga.

Ada sesuatu di sana. Sesuatu yang membuat Wendy tiba-tiba khawatir dan tak bisa diam. Sesuatu yang membuat Wendy baru saja diterjang ombak cemas dan bukannya pergi dan larut, ombak itu malah diam dan berubah menjadi banjir. Banjir sialan yang membuat Wendy tidak bisa berpikir jika Suga sedang baik-baik saja.

Secepat kilat Wendy malangkah keluar kamarnya, berjalan tergesa menuruni tangga dan membuka pintu depan yang langsung terhubung dengan halaman. Wendy mengambil napas serakah untuk membuat paru-parunya bekerja seperti biasa agar ia mudah berbicara ketika sudah berhadapan dengan Suga.

Wendy menatap Suga, namun lelaki itu malah melangkah mendekati Wendy dengan cepat. "Ada apa–"

Kata-kata Wendy tergantung di udara ketika dengan tiba-tiba Suga malah memeluknya. Membawanya masuk dalam lingkup tubuh Suga yang terasa dingin. Sesaat Wendy terkejut. Ia berusaha bergerak, namun pelukan itu makin erat, mengurung Wendy ke dalam perasaan Suga yang saat itu carut-marut.

"Suga."

Wendy memanggil Suga lirih. Namun alih-alih menjawab, Suga malah mengeratkan pelukannya. Menelusupkan wajahnya makin dalam ke ceruk leher Wendy. Seperti sedang melanda beban berat dan terlalu sulit menjelaskan. Wendy dibuat diam. Pelukan Suga saat ini menyadarkan Wendy, kecemasannya baru saja diamini.

***

Suga duduk di ruang tengah rumah Wendy ketika perempuan itu mengizinkannya masuk. 5 jam yang lalu, Suga duduk di tempatnya duduk sekarang. Dengan luka di ujung pipi dan bibir robek yang sekarang saja masih berbekas. Sesaat Suga kembali memutar ingatannya pada hari pertama ia menginjakan kaki di rumah ini dan hari itu, hari di mana Suga pulang dan pergi, Suga berharap ia bisa kembali dengan kehangatan rumah ini.

Semesta memang mendengar doa Suga di saat-saat tak terduga di hidupnya. Ia pertemukan lagi dengan rumah ini, dengan Wendy dan dengan perasaan serta mimpinya. Semesta juga membawa Wendy masuk dan menjadi salah satu tempat di mana Suga bisa melihat cahayanya. Tempat pelarian paling nyaman yang pernah Suga tempati.

Namun, kali ini, ia harus berhenti berlari. Berhenti terus-terusan melarikan diri karena sekarang pilihannya sudah pasti. Maka dari itu, kali ini, Suga harus mengucapkan selamat tinggal pada apapun yang tersisa di perjalannya, termasuk rumah ini.

"Nih." Wendy menyorokan segelas susu putih hangat.

Suga menengadah dan menerimanya. "Makasih."

Selanjutnya semua kembali hening.

"Papah mamah ke mana? Udah tidur?" tanya Suga.

Wendy mengangguk. "Udah."

Lalu mereka kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tapi semakin lama berada dalam diam membuat Suga merasa semakin sakit. Akhirnya ia kembali angkat bicara.

"Lo tau apa ketakutan terbesar gue?"

"Apaan?" Wendy menautkan alisnya bingung. Gadis itu mengambil tempat di sebrang Suga agar bisa saling berhadapan dan melihat satu sama lain.

"Ngecewain ayah," balas Suga cepat. "Tapi tadi gue bilang ke ayah, gue gak mau lagi jadi dokter. Dan ayah bales, katanya jangan ngecewain dia."

Wendy tercetak. Suga mungkin saja masih melihatnya dengan wajah datar dan tanpa ekspresi, tapi bagi Wendy, ia menemukan kesakitan yang terlalu besar di matanya. Mata yang biasanya hanya berisi kekosongan itu kini mengatakan semuanya. Mengatakan jika Suga baru saja tersakiti dan butuh pertolongan.

Sesaat, Wendypun merasa asing. Sosok di depannya ini memang Suga, tapi Wendy serasa baru pertama kali melihatnya. Sosok Suga yang pasrah dan tanpa rasa. Sosok tersakiti namun Wendy berani bertaruh, Suga tidak menyadari dirinya sendiri tersakiti. Demi apapun, Wendy lebih baik melihat Suga yang berkali-kali dihajar dan babak belur ketimbang melihat Suga yang sekarang. Jika hanya wajah Suga yang sakit, lukanya mungkin terlihat nyata dan Wendy bisa mengobatinya. Tapi kali ini, luka itu justru tak terlihat. Ia malah bersemayam namun membuat hati Wendy tersakiti. Mengubah sosok Suga menjadi orang lain yang tak Wendy kenal. Jika sudah begini, Wendy harus bagaimana?

"Makash masih ada di sisi gue dan buat gue kembali percaya sama musik." Suga tersenyum, senyum kecil yang menyakitkan. Sepertinya, Suga melakukan hal itu hanya untuk menegarkan dirinya sendiri. "Tapi kali ini gue lelah melarikan diri lagi. Gue mau berhenti. Gue gak mau tenggelam dalam ketakutan terbesar gue, jadi gue mau berhenti ngejar mimpi gue dan nurutin keinginan ayah."

Di kata terakhir yang Suga ucapkan, Wendy yang malah hancur. Dengan matanya sendiri, Wendy menyaksikan betapa lelaki itu tersakiti. Betapa matanya meneriakinya jika ia sedang dalam ambang kehancuran. Tapi Wendy malah diam saja. Ia bahkan tak bisa membalas apapun ucapan Suga. Ia malah diam dengan bibir kelu seperti orang bodoh.

Suga kembali tersenyum. Dan detik itu, Wendy ingin sekali menyuruh lelaki itu untuk berhenti tersenyum. Wendy sudah tak kenal lagi dengan senyum yang biasanya bisa membuat hatinya meluruh dan terasa manis dalam sesaat, karena saat ini, senyum itu justru menghujam jantung Wendy bagai tombak tak terlihat. Membuatnya terkoyak dan Wendy merasa semakin bodoh.

"Manusia saat lelah kadang butuh berhenti dan kembali. Untuk terakhir kalinya, makasih. Gue harus pergi sekarang."

Wendy tau, Suga melangkah pergi keluar rumahnya. Ia melihatnya dengan matanya sendiri. Wendy tau, kata-kata terakhir Suga hanyalah kata bodoh untuk menandakan perpisahan. Tapi Wendy tak tahu, Suga pergi begitu saja dengan rasa sakit di pelupuk namun Wendy tak dapat membantu apa-apa.

Malam itu, Suga benar-benar pergi.

Malam itu juga, ketika Suga pergi, Wendy tahu bagaimana rasanya menjadi tak berguna.


tbc. 

My Broken Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang