"Bima, kita hanya berteman. Tidak lebih, tidak kurang."
"Kita jangan lebih dari berteman ya."
"Aku tidak ingin hubungan ini berlanjut ke langkah berikutnya."
Aku sudah sering mendengar kalimat-kalimat itu. Sungguh tidak masalah sebenarnya, namun mereka yang membatasi pikirannya mungkin berpikir jika aku ini cowok yang payah.
Terserah mereka, jika mereka memang berpikir demikian. Mereka tidak bisa menentukan pilihan hidup seseorang. Hanya orang itu sendiri yang bisa.
Selayaknya remaja laki-laki pada umumnya, aku selalu penasaran. Lebih tepatnya, mencari cewek yang sesuai. Tidak mudah, dan aku mengerti.
Aku tidak mengerti apa-apa tentang cinta, tetapi kita manusia. Kita belajar dan terus belajar, dengan maupun tanpa kita sadari.
Handy, salah satu sahabatku yang paling bersahabat, selalu menyarankan untuk membuka diri.
"Lu harus membuka diri bro, kalo gak mana bisa lu ngedeketin cewek. Makin jauh aja ya itu cewek."
Tidak masalah, aku mengerti.
Kevin, sahabatku yang lain menyarankan untuk berfokus pada apa yang ada saat ini.
"Gak usah mikirin hal seperti itu dulu, buat apa. Mending fokus belajar dulu aja. Ngabisin energi mikirin yang kayak gitu."
Tidak masalah, aku juga mengerti.
Aku pun terbangun dari lamunanku. Sang guru pun memberi tugas presentasi kelompok kepada kami semua.
"Kita mulai presentasi Selasa depan, siap maupun tidak. Urutan dan materi presentasi sudah diberikan kepada setiap ketua kelompok."
Seperti biasa, sebagai murid "teladan", saya menyerahkan tugas itu kepada anggota kelompok lain. Rita, selaku ketua kelompok dan kelas, membentak dengan suaranya yang khas.
"Lu cowok apa bukan sih? Gitu aja gak bisa. Dasar pasif."
Tak peduli dengan perkataannya, yang kuperdulikan hanya dirinya. Memang Lebay jika dipikirkan, tapi memang demikian.
Sebenarnya aku udah ingin dekat dengan Rita sejak lama. Tetapi aku tak ingin ketidakdewasaanku mengambil alih, agar tidak seperti dengan yang terjadi 2 tahun yang lalu.
Pulang sekolah, Rita meminta kami untuk datang ke cafe D'coffee yang ada di dekat sekolah sore nanti. Aku menganggap itu bukan untuk tugas, tapi untuk si Dia. Sekalipun pada akhirnya aku mengerjakan tugas tersebut.
Aku datang duluan untuk membeli secangkir espresso selagi memikirkan tugas (baca : Dia) yang akan dilakukan disini. Presentasinya mudah, hanya tentang DNA.
Rita datang dengan tasnya yang besar, laptop berstiker rumus-rumus dan gambar rumit lainnya, serta buku paket tebal yang berfungsi sebagai obat tidur bagiku.
"Mending lagi ngopi disini, biasanya lagi ngopi di rumah."
"Iya, dirumah nggak ada siapa-siapa."
"Yaudah, nggak usah banyak cing-cong, kita mulai berdua aja dulu. Lu baca halaman 236-240 dulu selagi gua ngetik presentasinya."
"Kita mulai berdua aja dulu" Sebuah kalimat paling halus yang keluar dari mulutnya dan yang pertama kali kudengar.
Aku pun membeli lagi secangkir espresso untuk mencegah kantuk tadi siang berlanjut menjadi amarah Rita yang khas tersebut.
Selesai membaca, aku bertanya
"Rita, besok kita ketemuan lagi di cafe ini lagi, tapi cuma berdua aja. Gw masih nggak ngerti tentang struktur DNA."
"Ok, tapi cuma tentang itu aja." Jawab Rita dengan nada datar.