Chapter 2 : Timeline

55 6 0
                                    

Beberapa jam berlalu begitu saja, diisi dengan game yang sering aku mainkan, dan sering kalah pula. Namun aku tidak lupa akan tugas-tugasku.

Lalu memulai lagi sekolah setiap pagi, melakukan hal yang tidak selalu disukai.

Memang begitulah pendidikan di negeri ini, terlalu kaku dan tidak menyesuaikan dengan zaman sekarang. Melakukan hal-hal yang belum tentu disukai semua murid, namun tetap dipaksa untuk melakukan hal-hal itu.

Tapi mau dikata apa, pemerintah seakan gelap mata akan hal ini. Kita hanya bisa mengikuti.

Pergi ke sekolah mengamati langit abu-abu dari jendela mobil, yang penuh dengan awan yang sudah berkumpul sejak semalam, bersiap untuk membasahi tanah lagi, dalam siklus yang kuharap terus berlanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pergi ke sekolah mengamati langit abu-abu dari jendela mobil, yang penuh dengan awan yang sudah berkumpul sejak semalam, bersiap untuk membasahi tanah lagi, dalam siklus yang kuharap terus berlanjut.

Tak ada yang spesial di sekolah, kecuali akan diadakan pentas seni tahunan 2 bulan lagi. 2 bulan, waktu yang lama, namun tidak demikian.

Kelasku melakukan persiapan dengan delay yang sering akhir-akhir ini sehingga latihan tidak efektif karena sutradara kelas, Hani yang kondisi tubuhnya sedang menurun.

Michelle dan Annisa dibujuk untuk menggantikan posisinya, namun Hani menolak untuk turun jabatan menganggap bahwa dia bisa mengatur acara seni kelas, sekalipun sakit.

Namun apa daya, Hani tidak masuk kelas hari ini dan latihan terpaksa ditunda.

Kebetulan saat itu kelas kosong, sehingga Rita dan wakil ketua kelas, David dapat memberi pengumuman di kelas.

Rita marah besar di kelas dan memutuskan untuk mengganti Hani dengan Michelle sebagai sutradara pengganti sampai pelaksanaan pentas seni nanti.

Rita juga meminta latihan diintensifkan selama 2 bulan ini dan latihan lebih banyak akan dilakukan di The Food Street, tempat makan yang terkenal dengan terasnya yang luas.

Namun janji kemarin seakan muncul kembali mendadak, dan aku mengingatkan Rita untuk bertemu di cafe dekat sekolah untuk membahas tugas presentasi kelompok minggu depan.

"Rita, nanti pulang sekolah ketemu di D'coffee ya."

Aku sudah menduga ini bukan saat yang tepat untuk bicara, namun apa daya, mulut terlanjur menembakkan kata-katanya.

Rita, yang saat itu masih emosi, segera membentak.

"Di (The) Food Street aja deh. Kan mau latihan pulang sekolahnya. Kamu gimana sih? Gak ngerti sama sekali tah sama struktur DNA? Dasar payah"

Amukan yang biasa kudengar, terdengar lagi. Dan aku hanya bisa bersabar.

Terlahir dari keluarga yang suka memarahi dia sejak kecil, Rita tumbuh menjadi remaja yang temperamental, setidaknya itu yang dikatakan Helga, sahabatnya Rita yang sudah bersamanya sejak SMP.

Rita tidak salah, aku yang salah karena tak mampu mengendalikan mulut, lebih tepatnya diri sendiri. Sungguh terlalu aku ini, manusia yang selalu mempertanyakan keberadaan dirinya di tanah bentukan alam semesta ini.

Lamunanku pecah saat Rita tiba-tiba minta maaf kepadaku.

"Maaf tadi aku marah besar sama kamu. Aku tadi masih marah karena Hani, si tukang sakit."

"Kan udah dibilang, kalo gak sanggup jadi sutradara ya gak usah. Maksain amat jadi orang. Kan kalo udah gini kan segala-gala jadi repot. Udah tinggal 2 bulan lagi."

"Ambil sisi positifnya aja, Rita. Mungkin dia nggak mau kelas ini performancenya buruk. Dia sudah menyutradarai banyak penampilan kita."

"Harusnya kita bersyukur punya Hani di kelas ini. Kalo nggak ada dia, mungkin penghargaan pentas seni tahun lalu hanya menjadi angan saat ini."

"Jangan biarkan sebuah kesalahan yang dilakukan seseorang membuat kita melupakan semua kebaikan yang telah dilakukannya."

Rita pun terdiam dan mengangguk.

"Makasih ya, udah ngingetin aku untuk bersyukur."

Lalu dia kembali ke mejanya.

Di dalam hatiku kurasakan sebuah kelemahan yang dimiliki oleh Rita. Dia sepertinya sulit bersyukur. 

Aku ingin mengubahnya, namun tidak akan bisa. Hanya Rita sendiri yang bisa mengubahnya. Lagipula, aku bukan orangtuanya. Aku tidak berhak mengatur hidupnya, aku hanya bisa menasehati.

Namun, aku harus akui bahwa sifatnya yang temperamental dan perfeksionis akan menghambat dia untuk lebih bersyukur.

Waktu berlalu begitu saja seperti peluru yang keluar dari pistol. Benar, cepat, secepat aku menyadari bahwa kata-kataku sebelumnya hanya angin lalu baginya.

Salah seorang pemain kunci yang juga salah satu teman yang paling aku tidak suka, Dimas, tidak ikut latihan karena alasan acara keluarga.

Rita marah lagi, dan memutuskan untuk menciduk dia di rumahnya. Rita tahu bahwa ini hanya alasan semata.

Dan benar, Dimas terciduk sedang bermain game yang sedang hype saat itu bersama teman-teman segengnya dari kelas lain.

Dimas memang terkenal berandalan akut di sekolah. Puluhan hukuman sudah sering dilakukannya. 2 pelanggaran lagi dan dia akan dikeluarkan dari sekolah.

Ini yang dia inginkan menurut Daniel, mantan teman segengnya yang "putus" hubungan dengannya tahun lalu karena masalah utang.

Sedangkan dari aku sendiri, sikap pasif dari Dimas lah yang membuat ku tidak terlalu dekat dengannya. Kadang aku bertanya kapan dia akan sadar, mungkin saat "sudah jatuh tertimpa tangga" terlebih dahulu. Atau mungkin sifat ini sudah dipahat padanya dari orangtuanya, atau hal lain.

Dimas pun terpaksa rela diseret dari "istana" gamenya ke The Food Street untuk latihan, yang berjalan cukup baik.

The Missing PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang