Chapter 4 : Opinions

49 4 2
                                    

"Filenya tadinya ada, tapi ilang gak tau kemana."

"Maaf ya, aku buat kamu kecewa."

"Kamu harus yakin kalo aku udah.... "

"Sshhh. Diam kamu. Bikin ulang aja. The show must go on." sela Rita.

Aku langsung mematung. Dia memberiku kesempatan kedua untuk menyelesaikan presentasi itu.

Aku masih shock mendengar kata-katanya itu, tapi terpikirkan kembali akan tanggung jawab yang kuminta, bukan diberi, darinya sebelumnya.

"Gw ini cowok. Masa gini doang gak bisa." angan ini berbicara. Kuambil setumpuk data presentasinya dan laptopku untuk mulai mengetik ulang presentasi.

Tak memperdulikan waktu istirahat, aku terus mengerjakan tugas itu, sekalipun perutku sudah menyahutkan "panggilan alam"-nya cukup lama.

Aku kadang-kadang memandang Rita dari belakang kelas dengan termangu-mangu. Dia sungguh cewek yang tegar (dan mungkin mandiri) namun temperamen.

Sulit untukku mencari orang yang seperti itu, terutama bagi seorang cowok yang agak tertutup sepertiku, yang sedang mencari makna kehidupan.

Aneh memang jika dipikirkan, namun tetap saja, itu akan terjadi entah aku ingini atau tidak, suatu hari dimana kita menjawab pertanyaan mengenai eksistensi masing-masing dari kita di alam semesta ini.

"Melamun aja lu. Disambet setan lho." ujar Bryan, temanku yang paling gak jelas di kelas, dan kadang paling gak bisa diajak kompromi.

"Apaan sih lo. Lu gak liat gw lagi mikir."

"Mikirin apa, presentasi atau "dia"?"

"Menurut lo? Dengan semua hal yang ada di meja gua, kira-kira gw lagi ngapain?"

"Cieee... Ngambek."

"Kalo emang mikirin presentasi, kenapa layar desktop laptop lu gambar si "dia"? Harusnya buka program buat bikin presentasi dong, PowerPoint kek ato apa."

"Ya elah lu kritis amat jadi orang."

"Ya serah gua lah."

"Udah sana lah, magaje." (magaje : makhluk gaje.)

"Iya deh, penyendiri."

Beginilah Bryan, gak jelas sikapnya gimana, kayak ada asem-manisnya gitu.

(ps. Kalo gak lucu gak usah pura-pura ketawa, gw mah garing orangnya.)

Pulang sekolah langsung mejeng di D'coffee, cafe favoritku untuk mencoba matcha latte yang baru pertama kali ditawarkan disana, sambil melanjutkan presentasi yang harus kubuat ulang.

Rasa matcha a

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasa matcha a.k.a green tea itu seperti membawa buah-buah pikiran baru pada angan yang layu ini. Seakan mengarahkan lagi gairah hidup yang sedang melayang-layang tak karuan di jiwa raga ini.

The Missing PieceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang